Lihat ke Halaman Asli

Nabila Muthia Rezky Maghfirah

Mahasiswa Jurusan Pendidikan Luar Sekolah Universitas Negeri Padang

Dampak Terjadinya Perceraian Terhadap Anak

Diperbarui: 1 Juni 2023   00:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Pernikahan dalam sebuah keluarga tidak selalu berjalan dengan baik dan seperti yang diharapkan. Terkadang ada hal-hal yang sengaja atau tidak sengaja menjadi penghambat dan akhirnya menimbulkan masalah bagi keharmonisan dan ketentraman dalam keluarga. Masalah kecil yang menumpuk karena tidak ada solusi yang baik akhirnya menjadi masalah yang lebih besar. Jika segala upaya telah dilakukan untuk mengatasi kendala dan masalah tersebut namun sia-sia, maka perceraian dapat dianggap sebagai pilihan terbaik. Perceraian adalah hal yang serius dan rumit dalam sebuah hubungan. Perceraian tidak lagi tabu dan dipandang sebagai cara cepat untuk menyelesaikan masalah rumah tangga.

Namun, terkadang pasangan suami istri tidak mempertimbangkan akibat dari perceraian. Mereka percaya bahwa semua masalah dapat diselesaikan setelah perceraian, tetapi tidak demikian halnya. Perceraian merugikan anggota keluarga yang terlibat. Dalam banyak kasus, anak-anak menjadi korban utama dari perceraian ini. Pertama, anak takut menikah karena trauma perceraian menyebabkan anak menghindari pernikahan saat tumbuh dewasa. Dia tidak ingin menikah karena dia takut berakhir seperti orang tuanya. Parahnya lagi, trauma yang mendalam membuat mereka enggan untuk menjalin hubungan sekalipun. Dengan Tingkat perceraian 60% lebih tinggi untuk anak perempuan dari orang tua yang bercerai dan 35% lebih tinggi untuk anak laki-laki.

Kedua, mengalami depresi tidak mengenal usia. Bahkan anak kecil pun dapat mengalami depresi ketika mereka sangat sedih dengan dampak negatif perceraian terhadap anak-anak mereka. Risiko depresi lebih tinggi pada anak yang pernah mengalami perceraian dan mengerti artinya. Menurut banyak penelitian, perceraian orang tua merupakan faktor penyebab gangguan bipolar. Selain itu, balita dan anak prasekolah antara usia 18 bulan dan 6 tahun menunjukkan depresi dan kembali ke perilaku seperti menempel, mengompol, mengisap jempol, dan mengamuk.

Ketiga, anak yang orang tuanya bercerai memiliki risiko lebih tinggi mengembangkan sikap antisosial dan sifat agresif. Anak-anak merasa mereka kekurangan arah dan dukungan dalam hidup mereka.

Keempat, anak mengalami trust issue. Perasaan sulit menaruh kepercayaan pada orang lain ini dapat menyebabkan anak mudah frustrasi dan sering berkecil hati saat berhubungan dengan orang lain.

Kelima, hal-hal negatif mudah mempengaruhi anak. Perceraian juga membuat anak saat beranjak remaja mudah terpengaruh oleh hal-hal buruk yang mereka temui dalam pergaulan. Seperti merokok, minum alkohol dan narkoba. Hal ini karena anak-anak merasa sudah tidak dipedulikan lagi dengan orang tuanya yang sibuk dengan urusan rumah tangganya. Meskipun perceraian bukanlah proses yang mudah, setiap orang tua membutuhkan waktu untuk memulihkan diri, sehingga mereka mengabaikan anak-anaknya dan masalah lainnya.

Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik, jumlah perkara perceraian di Indonesia mencapai 516.334 kasus pada tahun 2022. Angka tersebut meningkat 15,31% dibandingkan tahun 2021 yang mencapai 447.743 kasus. Perkara perceraian rumah tangga tahun 2022 mayoritas merupakan gugatan cerai yang diajukan oleh istri yang telah diputuskan oleh pengadilan. Ada 388.358 kasus atau 75,21% dari total kasus perceraian di tanah air pada tahun lalu. Di sisi lain, 127.986 kasus atau 24,78% perceraian terjadi karena perceraian suami yang diajukan oleh suami yang telah diputuskan oleh pengadilan. 

Menurut laporan Badan Pusat Statistik, ada 4 penyebab utama perceraian di tahun 2022. Pertama, ada 284.169 kasus (63,41%) pertengkaran dan pertengkaran. Konflik yang terjadi antar pasangan seringkali menjadi faktor pemicu perceraian. 

Kedua, masalah ekonomi sebanyak 110.939 kasus (24,75%). Ketidakstabilan keuangan atau kesulitan keuangan dapat memberikan tekanan yang signifikan pada hubungan pernikahan.        Ketiga, meninggalkan pasangannya sebanyak 39.359 kasus (8,78%). Keputusan untuk meninggalkan pasangan karena berbagai alasan seperti ketidakcocokan, kehilangan minat, atau perbedaan nilai hidup. 

Kempat, kasus kekerasan dalam rumah tangga sebanyak 4.972 kasus (1,1%), kekerasan dalam rumah tangga yang melibatkan kekerasan fisik, emosional, atau seksual yang dilakukan oleh satu pasangan terhadap pasangan lainnya, yang dapat berujung pada perceraian. 

Dalam memecahkan penyebab perceraian dari data statistik Indonesia dilakukan beberapa solusi untuk mengatasi perceraian. Pertama, pasangan harus belajar berkomunikasi secara terbuka dan jujur, mendengarkan dengan empati, dan mengungkapkan kebutuhan dan harapan mereka dengan jelas. Komunikasi yang baik membantu mencegah salah tafsir dan memungkinkan pasangan menyelesaikan konflik dengan cara yang sehat. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline