Lihat ke Halaman Asli

Nabila Marwa Nurhadi

Undergraduate Student

Dating Apps sebagai Ladang Aksi Para Predator Seksual

Diperbarui: 4 Januari 2023   15:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di era pandemi Covid-19, setiap orang diharuskan menjalani segala aktivitasnya dari rumah. Hal tersebut menciptakan kejenuhan yang pada akhirnya banyak orang yang berusaha untuk mencari alternatif sebagai pelarian dari rasa jenuh mereka, salah satunya dengan bermain dating apps. 

Dilansir dari Tempo.co, penggunaan aplikasi kencan khususnya Tinder mengalami peningkatan selama pandemi dengan rata-rata pesan yang terkirim sebesar 19 persen perharinya dalam setahun dihitung sejak Febuari 2021. 

Sebanyak 60 persen penggunanya juga mengakui bahwa mereka menggunakan aplikasi tersebut untuk menghilangkan rasa jenuh dan kesepian akibat dari anjuran pemerintah untuk menjalani isolasi agar mengurangi laju pertumbuhan virus. 

Dating apps atau aplikasi kencan yang marak digunakan seperti Tinder, Bumble, Omi, dan sebagainya muncul dengan fungsi utama sebagai aplikasi pencari pasangan atau teman melalui dunia maya. Namun, lambat laun aplikasi-aplikasi tersebut disalahgunakan oleh beberapa oknum predator seksual sebagai media untuk melangsungkan aksi mereka.

Meskipun sudah banyak yang membuktikan keefektifan dari dating apps dalam menemukan pasangan ataupun teman, hal tersebut tetap saja tidak bisa menjamin keamanan pengguna lainnya. 

Kasus kejahatan yang dilakukan melalui aplikasi tersebut sudah marak terjadi di Indonesia, salah satunya kasus pelecehan seksual melalui aplikasi kencan yang terjadi pada tahun 2021 lalu oleh seorang pria yang diduga menggunakan beberapa nama samaran seperti Leo, Po, Hesa, Esa, Popo, Dewala, dan Ungke untuk melancarkan aksinya. 

Pelaku telah melangsungkan aksinya sejak tahun 2013 dan sudah memakan sebanyak 150 korban. Tidak hanya di Indonesia, di negara lain pun kasus serupa juga terjadi contohnya kasus yang menimpa pengguna Tinder yang merupakan warganegara Australia. Layaknya pengguna lainnya yang ingin mencari teman baru melalui aplikasi tersebut, ia malah diperkosa oleh seorang pria yang ditemuinya melalui aplikasi tersebut.  

Kontradiksi dari tujuan utama dating apps yang semulanya digunakan sebagai aplikasi untuk mencari pasangan ataupun teman dan kemudian berubah menjadi ladang subur bagi para predator seksual untuk mencari mangsa, dapat difaktori oleh lemahnya sistem keamanan dalam aplikasi-aplikasi tersebut sehingga belum memadai untuk menghindarkan para penggunanya dari hal-hal berbahaya. 

Sistem kemanan dari dating apps biasanya dibebankan pada penggunannya sendiri. Sehingga bagi para pengguna yang tidak paham bagaimana cara membangun keamanan dalam akun mereka bisa menjadi sasaran empuk bagi para predator seksual.

Selain sistem keamanannya yang terbilang masih lemah, adapula kesalahan yang kerap kali dilakukan oleh pengguna dating apps yang menjadi pemicu munculnya peristiwa yang tidak diinginkan, yaitu betukar informasi pribadi dengan pengguna lain yang belum pernah ditemui secara langsung. Hal tersebut menjadi salah satu bentuk self-disclosure secara online. 

Self-disclosure online merupakan kondisi dimana seseorang memberikan informasi yang bersifat pribadi kepada orang lain melalui internet. Hal ini dapat dibuktikan dari penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa psikologi dan kedokteran, Firnandha & Putu (2021) yang berjudul "Gambaran Self-disclosure Pada Perempuan Pengguna Aplikasi Online Dating Tinder di Tengah Pandemi COVID-19". 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline