Warna warni menyelimutiku saat ini. Spektrumnya memelukku erat, memenuhi penghayatan sebagian tantangan dan spirit. Semua warna. Kecuali biru yang terendap, dan tersenyum dari jauh. Warna merah yang menyajikan senyuman, warna kuning mencerahkan pantulanku, juga warna orange yang menari riang. Warna warna itu melapisi ku, sehingga kebanyakan orang tidak melihat dengan jelas ketidak hadiran warna laut. Aku terlihat berwarna. Corak melambai dan menebarkan tawa.
Tetapi bahkan perisai sekuat bajapun akan terjatuh pada satu titik waktu. Ketika malam tiba dan warna warna tersebut perlahan tergulai lelah. Muncullah warna yang selama ini meringkuk di dsudut ruang. Warnaku. Biru. Sang biru menghembuskan nafasnya dalam-dalam, mengusir sesak di dadanya. Biru itu berdiri tertatih dan memulai harinya. Hari dimana warna lain terlelap ditelan gelap. Sebuah gerbang menuju kenyataanpun terbuka lebar, menanti untuk merangkak ke permukaan tanpa semu. Karena sang malamlah, biru dapat merajut kembali warna aslinya. Biru yang tercabik.
Bukankah warna dasar itu merah, kuning dan biru? Ketika mentari merangkak menuju puncak, salah satu warna dasar itu bertualang untuk sementara, dan aku harus bertahan dengan warna - warna yang ada. Aku tak bisa menciptakan violet tanpa biruku, hijau tanpa biruku. Banyak warna yang menghilang tanpa biruku. Berkali-kali aku memanggil biruku, tapi hanya kesepian yang menjawab asaku. Sang biru belum siap untuk memunculkan diri dalam terang. Cahaya mentari selalu menyilaukan pantulannya. Menjadikannya lebih terendap dalam kesendirian.
Ya, aku mengerti dan aku menunggu. Tapi kekosongan bersandar dalam diriku setiap saat. Kekhawatiran akan berpencarnya warnaku, membuat noda dalam hatiku. Detik-detik tanpa biruku meninggalkan lubang dalam setiap langkahku. Menjadikan senyuman hanya sekedar bergeraknya bibir. Tentu saja, sang hati berusaha menyelimuti ketidakhadiran sang biru, membutakan setiap orang yang mencari biruku.
Kucari dan kupahami bahwa aku sangat menginginkan biruku. Dialah yang memelukku ketika angin menghembuskan nafasnya padaku. Dialah yang menenangkanku ketika arus dalam diriku terlalu besar. Aku tau ia selalu melihatku, tetapi aku ingin ia dalam genggamanku. Saat ini dan seterusnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H