Lihat ke Halaman Asli

Jodoh yang Terlewatkan

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi itu aku sedikit kacau. Kurang tidur karena semalaman mengerjakan tugas membuat organ tubuh tak bekerja sebagaimana mestinya. Parahnya, aku tetap harus bangun dan bergegas untuk perjalanan panjang yang sudah pasti melelahkan.

Rasa malas makin bertambah ketika aku memang harus melangkahkan kaki keluar kamar dengan membawa sekian banyak barang. Lalu, berjalan menuju jalan raya dengan susah payah dan menanti angkot bertuliskan Lembang - St. Hall.

-

Melewati jalanan Setiabudi dan Cihampelas di Senin pagi perlu kesabaran level tinggi. Bising deru knalpot berpadu sempurna dengan polusi dari angkot warna-warni yang sibuk berebut penumpang. Komposisi tak beraturan suara klakson menambah kepenatan orang-orang ketika memulai hari.

Di dalam angkot juga tak lebih baik. Indra penciuman terpaksa harus toleransi dengan berbagai merek deodorant mereka yang juga ingin bergegas sampai di sekolah. Tapi ini masih lebih baik daripada harus berjejal bersama mereka saat jam-jam pulang sekolah ketika deodorant sudah tak berfungsi maksimal. Beruntung aku masih bisa mendapatkan kesenanganku, bangku pojok dekat kaca jendela yang dengan leluasa boleh aku buka. Semilir angin pagi mendamaikanku dengan keadaan.

-

Aku bergegas mempercepat langkah setelah turun dari angkot dan meninggalkan tiga lembar ribuan. Satu ransel dan satu tas jinjing besar tak bisa membuat langkahku lebih cepat lagi.

Jam di tangan menunjukkan 7.40, sesuai yang tercantum di tiket, 10 menit lagi kereta akan berangkat. Aku masih harus susah payah menuju gerbong terakhir dan berdesakan di dalam lorong kereta mencapai jatah kursiku, A14.

-

Sesuai yang kuinginkan, duduk dekat jendela. Aku sengaja menyiapkan beberapa buku untuk mengusir rasa bosan selama perjalanan nanti. Earphone segera kupasang ketika kereta bersiap melaju. Suara gemuruhnya terganti lagu-lagu andalan dari playlist yang memang sudah kusiapkan.

Ya, perjalanan Bandung - Solo selama 9 jam akan cukup melelahkan, aku sering mengalaminya. Bahkan, keadaan bisa lebih buruk jika B14 adalah anak hiperaktif, atau manula penggemar minyak angin. Aku berharap semoga bukan keduanya.

Ketika melihat sekeliling, suasana sudah berubah tenang begitu kereta melaju. Terlihat sepasang kekasih asyik berbincang di C14 dan D14. Semua tempat duduk juga sepertinya sudah penuh, tapi B14 masih kosong. Entah siapa yang akan duduk di kursi ini dan entah darimana akan naik. Mungkin saja tiketnya memang tak terjual, atau seseorang dengan bodohnya terjebak macet dan melewatkan kereta ini.

-

Rasanya sangat mengantuk. Aku sandarkan kepala di kaca jendela. Wake Me Up When September Ends dari Greenday mengantarku lelap. Aku ingin pulas sebentar saja.

-

Wah, kereta bermasalah nih,” teriak seorang bapak tua.

Ngerem-ngerem terus ya,” sahut ibu yang sedang menggendong bayinya.

Situasi gaduh. Orang-orang tampak kesal. Petugas terlihat menyebar ke tiap gerbong untuk memberi penjelasan. Aku terbangun, sedikit mengangkat kepala sesaat setelah kereta lagi-lagi ngerem mendadak di stasiun Kiara Condong.

-

“Permisi ya, dik,” seorang pria dengan senyum ramah menyapaku diiringi deru mesin kereta yang kembali melaju.

“Eh, silakan mas,” kataku sambil merapikan rambut dan menarik earphone dari kedua lubang telingaku.

Mujur sekali, bisa melihat kesenangan begitu membuka mata. Ya, duduk bersebelahan dengan seorang pria bertubuh tinggi tegap, wajah menarik, mata sipit, hidung mancung, dan garis rahang tegas. Aku rasa 9 jam perjalanan akan menyenangkan.

-

“Turun dimana, dik?”

Tiba-tiba dia melontarkan pertanyaan dan seketika itu juga aku mendadak kacau. Suaranya membuatku kehilangan kemampuan berbicara, lidahku kelu. Bahkan, aku bisa merasakan wajahku memerah, lantaran malu dan gembira yang tak bisa kusembunyikan.

Aku lemas ketika harus menatap wajahnya. Sudah pasti aku terlihat bodoh dalam kondisi seperti ini. Aku berusaha sekuat tenaga agar tetap tenang, walaupun nafasku sesak dan jantung berdegup kencang. Aku gugup. Tubuhku dingin, benar-benar tak wajar.

“Solo, mas,” jawabku salah tingkah.

-

Perbincangan terus berlanjut. Selama perjalanan kami membahas banyak hal. Soal Bandung, kota dimana kami sama-sama menempuh kuliah. Tentang Solo dan Jogja, kampung halaman kami.

Dia memang menarik. Pria tampan usia sekitar 27-an yang sedang menyelesaikan skripsi jurusan Sastra Indonesia di salah satu universitas terkemuka di kota Bandung. Aku merasa cepat akrab dengannya. Kami bicara banyak hal menarik, terutama sastra.

-

Perbincangan membuat keadaan membaik. Aku merasa lebih rileks berinteraksi dengan pria di sebelahku. Kami bahkan berbagi bekal makanan dan seakan sudah lama kenal, lalu sengaja mudik bersama.

Terlihat ada beberapa penumpang yang sengaja menoleh kearah kami. Ada yang berekspresi tak senang, mungkin merasa terganggu. Kami terlalu berisik. Tapi, ada yang tesenyum, seakan ikut senang melihat keceriaan kami berdua. Sepasang kekasih yang sempat membuatku iri justru terlihat sibuk mengamati kami berdua. Aku memilih menatap pria tampan disebelahku. Aku tak perlu menghiraukan orang lain.

-

“Sudah punya pacar?” selorohnya polos.

Suasana berubah kaku setelah pertanyaan aneh itu keluar dari mulutnya. Seketika kami kembali canggung. Aku kembali tak stabil, persis seperti saat pertama dia menyapaku tadi, dan ini jauh lebih buruk. Aku benar-benar gugup. Aku gemetar, tubuhku panas dingin, benar-benar tidak wajar.

-

Kondektur tiba-tiba menghampiri di tengah suasana kaku diantara kami. Aku merogoh saku celana, mengambil tiket dan memberikannya pada kondektur. Aku pura-pura tak menghiraukan keberadaan pria tampan disebelahku dan pertanyaan anehnya tadi.

-

“Kenapa tak menjawab pertanyaanku?” ucapnya seperti mempertegas kalau pertanyaan aneh tadi memang butuh jawaban.

Aku hanya menggeleng canggung. Sekalipun seharusnya ini jadi pertanyaan yang aku harapkan keluar dari mulutnya, tapi rasanya tetap aneh. Aku memang tak punya pacar, kekasih, atau semacamnya. Aku diam dan tak berharap dia bertanya lebih jauh. Aku tak ingin dia tahu perihal penyakitku, soal ketakutan yang berlebihan pada sebuah komitmen.

-

Kereta seakan melaju lebih cepat dan sekarang sudah singgah di stasiun Cilacap, itu berarti sudah lebih dari setengah perjalanan.

Jam 3 sore, cuaca cukup cerah. Matahari memberi porsi yang pas untuk hangat sinarnya. Angin segar persawahan menembus jendela, menyapa tiap-tiap kursi penumpang, mengalir disepanjang gerbong-gerbong kereta menciptakan suasana nyaman. Dengan seorang pria menarik duduk disampingku, bukankah ini setting cerita yang begitu sempurna?

-

“Apa kamu percaya Jodoh?”  ucapnya disela-sela perbincangan kami.

“Aku percaya. Semesta sudah menggariskan semuanya. Aku percaya sebab akibat, karma baik, karma buruk, ada alasan di setiap kejadian. Aku jelas percaya Jodoh,” jawabku dengan nada yang sedikit tegas.

“Menurutku Jodoh tak benar-benar sudah digariskan. Kita yang seharusnya menciptakan Jodoh itu sendiri. Tuhan, semesta alam, atau apapun namanya. Mereka tak sepenuhnya mengerti, begitu juga kita. Jodohmu mungkin sudah terlewatkan, bahkan ketika kamu belum sempat menemukannya.”

Dia memberi tekanan lebih untuk setiap kalimatnya. Aku hanya menanggapi santai. Dua orang berbeda pendapat adalah wajar. Tapi, aku merasa aneh dengan ekspresi dan nada bicaranya yang mulai berubah. Mengapa dia harus begitu menggebu membahas masalah Jodoh? Mengapa nada bicaranya meninggi dan raut wajahnya berubah tak ramah? Ada apa dengan Jodoh?

Apa aku harus menanggapinya dengan mengutarakan argumen-argumen demi mendukung kepercayaanku pada Jodoh yang aku muliakan? Bahwa hingga usia 24 tahun ini aku belum pernah menjalin hubungan dengan pria manapun karena kepercayaanku yang berlebihan pada Jodoh.

-

Stasiun Kutoarjo. Satu jam lagi kereta akan sampai di Jogja dan berarti kami akan segera berpisah. Rasanya waktu berlalu lebih cepat. Aku belum mau mengakhiri ini. Seandainya kereta bisa terus melaju, tak perlu berhenti.

“Boleh kita bertukar nomer handphone?” tiba-tiba dia melontarkan pertanyaan yang sejak tadi ingin kudengar.

“Boleh saja.” sambungku cepat.

Aku mengambil pena dari dalam tas. Dia mengulurkan tangan. Aku menulis di telapak tangannya dan dia memilih menulis di salah satu buku yang kubawa. Buku berjudul The Imperfect Mate. Dia membuka halaman 13. Aku mengingatnya baik-baik karena aku akan segera membuka halaman itu lagi, segera setelah kami berpisah nanti.

-

Kereta sudah sampai di Stasiun Lempuyangan. Dia belum bersiap untuk turun dan justru terlihat gelisah. Apa mungkin dia tak rela berpisah denganku?

“Kamu mau turun bersamaku?”

Aku tertegun untuk pertanyaan yang keluar dari mulutnya. Pria yang kukenal 9 jam lalu. Entah apa yang sedang dia pikirkan. Saat itu, dia tampak lebih gelisah dari sebelumnya. Wajahnya tegang. Dia terlihat sangat tak wajar. Aku melihatnya sebagai seorang yang aneh. Entahlah, aku bahkan tak tahu bagaimana harus menanggapi pertanyaannya.

“Bukankah kau percaya Jodoh?” sambungnya lagi.

Aku hanya menatap kaku kearahnya. Aku seperti hilang kesadaran. Mulutku tak bisa bersuara, tapi pikiranku masih berputar-putar dan melayang jauh. Pandanganku seakan mengabur. Aku bahkan tak merasakan udara yang kuhirup. Aku rasa aku tak bernafas. Kepalaku terasa sangat berat, ingin sekali kusandarkan lagi di kaca jendela. Tapi aku tak bisa bergerak.

Di Stasiun Tugu. Dia berlalu begitu saja.

-

Aku mendengar suara gaduh. Penumpang berdesakan, berdiri di lorong-lorong gerbong berebut untuk turun. Kuli-kuli panggul justru berlarian di luar kereta, bergegas naik menawarkan jasa pada para penumpang. Beberapa petugas pembersih kereta mulai bekerja. Di dalam kereta makin penuh sesak. Aku masih duduk di tempat yang sama, A14. Aku malas beranjak dari kursiku. Mataku memandang ke luar jendela, sekedar mengamati sekitar.

Selamat datang di Stasiun Balapan Solo.

-

Menyenangkan bisa menghirup udara sore kota Solo. Kota yang terlalu nyaman untuk ditinggali. Melihat wajah-wajah ramah dan bersahabat. Mendengar logat-logat yang sudah lama tak kudengar. Kira-kira sudah tiga tahun aku tak pulang kampung. Aku sibuk dengan dunia baruku, dunia kampus.

Aku putuskan untuk tak langsung pulang ke rumah. Aku berjalan menuju warung nasi di seberang stasiun. Aku lapar dan butuh segelas kopi hangat untuk menyegarkan badan.

Beruntung warung sedang sepi dan aku satu-satunya pembeli. Aku bisa makan dengan tenang. Ibu penjaga warung sedang duduk-duduk santai sambil menonton televisi. Tapi televisi terlanjur membuatku muak, berita korupsi, sinetron, dan acara untuk orang-orang yang hobi bergoyang.

Samar aku mendengar berita kecelakaan dari layar 14 inci tepat di atas kepalaku. Sekitar jam 8 pagi tadi terjadi kecelakaan tunggal di Jalan Kebon Kawung, Bandung. Sebuah sepeda motor dengan kecepatan tinggi menabrak pembatas jalan. Pengendaranya bernama Bayu tewas di tempat kejadian.

Aku mengingatnya. The Imperfect Mate halaman 13.

-

Aku berusaha tegar untuk segala kemungkinan yang terjadi. Ada niat yang begitu kuat dalam diriku. Rasa penasaran luar biasa menyiksaku. Kuat dan mampu mengalahkan ketakutan pada segala sesuatu yang tak bisa diterima akal sehat sekalipun.

-

Bayu - 081 329 013 911.

Apa aku masih perlu menghubungi nomer ini?

-

Seperti tak sepenuhnya sadar. Tubuhku dingin. Kepalaku begitu berat. Dadaku sesak. Aku rasa aku tak bernafas. Hanya mataku sedikit basah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline