Lihat ke Halaman Asli

Nabila Husnul Khotimah

Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Tanjungpura / Staff Brand Marketing of AIESEC in Untan

Diplomasi Hijau: Kolaborasi Negara Berkembang demi Mengubah Nasib Bumi

Diperbarui: 23 Mei 2024   13:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sesi Closing Plennary Konferensi Perubahan Iklim UNFCC COP26 di Glasgow, Skotlandia pada Sabtu (13/11/2021). Foto : UNFCCC 

Krisis akan iklim global merupakan ancaman yang serius bagi seluruh masyarakat dunia. Pemanasan global, perubahan iklim yang ekstrem serta degradasi lingkungan telah mempengaruhi kehidupan jutaan orang di seluruh penjuru bumi. Krisis ini tidak hanya mempengaruhi lingkungan, tetapi juga berdampak pada ekonomi, kesehatan, dan stabilitas sosial di seluruh dunia. Fenomena ini tidak hanya menjadi perhatian di negara-negara maju, melainkan hal yang sangat relevan bagi negara-negara berkembang yang sering kali lebih sensitif dan rentan terhadap dampak negatif yang ditimbulkan oleh perubahan iklim.

Negara berkembang memiliki peran yang krusial dalam mengatasi fenomena krisis iklim global, meskipun kontribusi terhadap emisi gas rumah kaca negara berkembang lebih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara maju. Namun, negara berkembang menghadapi tantangan unik misalnya keterbatasan sumber daya, infrastruktur yang kurang memadai, serta tingkat kemiskinan yang lebih tinggi daripada negara maju. Hal ini yang membuat negara berkembang berada dalam posisi yang sulit untuk beradaptasi dan berkontribusi secara efektif terhadap upaya mitigasi perubahan iklim.

Di tengah situasi ini, diplomasi hijau menjadi kunci untuk mencari solusi bagi krisis iklim. Diplomasi hijau merupakan strategi yang digunakan oleh banyak negara untuk mengatasi krisis iklim global melalui diplomasi serta kerja sama internasional. Dalam konteks krisis iklim, diplomasi hijau mengacu pada upaya untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi negara-negara dalam upaya mengatasi perubahan iklim. Namun, yang membuatnya semakin menarik adalah peran kunci yang dimainkan oleh negara-negara dalam upaya diplomasi hijau. Kolaborasi antarnegara berkembang tidak hanya menghasilkan solusi yang lebih inklusif, tetapi juga menunjukkan komitmen bersama untuk mengubah nasib bumi. Inilah alasan mengapa diplomasi hijau dianggap sebagai agen penting dalam perubahan menuju masa depan yang berkelanjutan.

Negara-negara berkembang sering kali menjadi korban utama dari dampak perubahan iklim, semakin menyadari bahwa pentingnya bekerja sama dalam upaya menghadapi tantangan iklim global. Inisiatif forum kerja sama misalnya Asia-Afrika atau Asian-African Strategic Partnership menjadi wadah bagi negara-negara berkembang untuk berbagi pengalaman, teknologi, dan sumber daya dalam upaya bekerja sama untuk memperbaiki kondisi bumi.

Salah satu contoh kolaborasi yang berhasil adalah kerja sama antara India, Brasil, dan Afrika Selatan (IBSA) yang bekerja sama dalam bidang energi terbarukan. Ketiga negara tersebut telah melakukan pertukaran teknologi serta pengetahuan tentang pengembangan energi matahari, angin, dan biofuel. Kolaborasi ketiga negara ini tidak hanya menghasilkan proyek-proyek inovatif, tetapi juga membuka jalan bagi negara-negara lain di kawasan Asia, Afrika, dan Amerika Latin untuk mengadopsi solusi-solusi yang ramah lingkungan.

Namun, tantangan yang dihadapi dalam melaksanakan diplomasi hijau tidaklah sedikit. Salah satu tantangan terbesar adalah kesenjangan teknologi antara negara maju dan negara berkembang. Negara-negara berkembang sering kali tidak memiliki akses yang sama terhadap teknologi untuk melakukan diplomasi hijau terkini, sehingga dapat memperlambat kemajuan dalam pengurangan emisi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Dalam hal ini, kerja sama internasional dan transfer teknologi menjadi kunci utama untuk memastikan bahwa setiap negara memiliki akses yang sama terhadap solusi-solusi yang ramah lingkungan.

Selain itu, diplomasi hijau juga dihadapkan pada masalah keuangan. Implementasi proyek-proyek hijau sering memerlukan investasi besar yang tidak selalu dapat dipenuhi oleh negara-negara berkembang. Untuk itu, diperlukan kerja sama internasional yang lebih luas, termasuk bantuan keuangan serta mekanisme pembiayaan yang inovatif, untuk memastikan bahwa negara-negara berkembang dapat mengambil langkah yang konkret dalam upaya mengurangi emisi karbon mereka.

Peran sektor swasta juga turut menjadi hal yang krusial dalam praktik diplomasi hijau. Banyak perusahaan multinasional telah mulai mengadopsi praktik bisnis yang lebih berkelanjutan, termasuk penggunaan energi terbarukan, pemilihan limbah yang baik, serta pengurangan emisi karbon. Kolaborasi antara sektor swasta dan pemerintah negara berkembang dapat menciptakan lingkungan yang mendukung bagi inovasi dan investasi dalam teknologi hijau.

Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa diplomasi hijau juga menghadapi permasalahan politik. Banyak negara masih memprioritaskan pertumbuhan ekonomi yang cepat tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan jangka panjang. Diplomasi hijau harus menemukan cara untuk mengatasi hambatan-hambatan politik melalui komunikasi, pelatihan, serta fasilitas yang tepat.

Meskipun demikian, ada banyak contoh keberhasilan yang dapat dijadikan inspirasi bagi negara-negara lain. Maroko misalnya, telah menjadi pemimpin regional dalam pengembangan energi matahari dan angin. Dengan dukungan dari lembaga internasional dan investasi swasta, Maroko telah sukses mengurangi ketergantungannya pada energi fosil dan mengurangi emisi karbon secara signifikan.

Hal yang sama dilakukan oleh China yang telah menunjukkan komitmen yang kuat terhadap transisi energi yang berkelanjutan. Melalui investasi yang besar dalam energi terbarukan dan peningkatan efisiensi energi, dengan itu China telah menjadi pemimpin global dalam sektor energi hijau.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline