Lihat ke Halaman Asli

Etika Bermedia Sosial pada Penyebaran Berita Hoaks tentang Kasus Kekerasan Seksual oleh BEM FMIPA UNY Menurut Perspektif Filsafat Komunikasi

Diperbarui: 2 Desember 2023   18:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Latar Belakang

Seiring berjalannya waktu, segala sesuatu mengalami perkembangan dengan pesat yang terjadi di seluruh dunia, terutama dalam teknologi, sistem komunikasi, dan media yang menjadi sarana perantara untuk melakukan komunikasi. Awalnya, informasi disampaikan melalui surat kabar, televisi, dan radio, namun kini semakin bervariasi dengan melalui media sosial. Kehidupan modern di era digital memudahkan komunikasi dan kegiatan sehari-hari masyarakat. Media sosial sangat membantu masyarakat dengan menjadi alat yang efektif untuk menyampaikan, menerima, dan menyebarluaskan informasi serta dapat menciptakan keterhubungan dan akses tanpa batas.

Meskipun media sosial memberikan dampak positif, seperti mempercepat akses informasi dan memungkinkan interaksi antarindividu, namun media sosial juga memiliki dampak yang negatif. Informasi palsu atau hoaks sering kali tersebar, menimbulkan ketidakpastian dalam interpretasi realitas. Setiap pengguna media sosial perlu bersikap bijaksana, melakukan verifikasi informasi, dan menjaga etika dalam penggunaan platform tersebut. Salah satu contoh nyata adalah kasus hoaks pelecehan seksual di UNY, di mana informasi palsu tersebar melalui media sosial, merugikan reputasi individu dan merusak hubungan sosial.

Kasus hoaks pelecehan seksual di UNY mencerminkan kompleksitas etika berkomunikasi di media sosial. Tersangka RAN, dengan motif sakit hati, menyebarkan informasi palsu yang merugikan banyak pihak. Permasalahan etika dalam komunikasi online menuntut setiap pengguna untuk memverifikasi informasi sebelum menyebarkannya. Di tengah peraturan dan undang-undang yang mengatur etika penggunaan media sosial, kesadaran masyarakat tentang pentingnya verifikasi informasi dan penerapan etika menjadi kunci untuk mencegah dampak negatif dari penyebaran hoaks di era digital.

Kajian Pustaka

Etika Komunikasi

Etika komunikasi menurut terminologi ialah konsep-konsep yang sistematis mencakup nilai baik, buruk, harus, benar, dan salah, serta mengenai prinsip-prinsip umum yang membenarkan kita dalam penerapannya pada segala hal atau dapat disebuut sebagai filsafat moral. Mengutip Karimah dan Wahyudi, menurut Richard J. etika mencoba untuk meneliti tingkah laku manusia yang dianggap sebagai cerminan dari apa yang terkandung dalam jiwanya atau dalam hati nuraninya. Terdapat 3 pengertian etika yang berkaitan dengan perlunya etika komunikasi utamanya dalam penggunaan sosial media, diantaranya:

  • Etika deskriptif, etika yang bersangkutan dengan nilai dan ilmu pengetahuan yang membicarakan masalah baik dan buruknya tingkah laku manusia dalam bermasyarakat.
  • Etika normative, etika yang dipandang sebagai suatu ilmu menggandakan ukuran atau norma yang dapat dipakai untuk menilai perbuatan dan tingkah laku manusia dalam bermasyarakat.
  • Etika kefilsafatan, analisa mengenai apa yang dimaksudkan pada saat mempergunakan predikat-predikat kesusilaan. Etika ini berhubungan dengan norma yang berarti peraturan atau pedoman hidup mengenai bagaimana seharusnya manusia bertingkah laku dalam bermasyarakat.

Media Sosial

Media sosial hadir dan membentuk cara baru dalam berkomunikasi. Pola komunikasi yang telah mapan terdiri dari pola "one-to-many audiences" yang berarti dari satu sumber ke banyak pemirsa. Pola komunikasi masyarakat pengguna sosial media menggunakan kombinasi pola "many-to-many", dan pola "few-to-few". Menurut Juliswara, pada saat ini kemunculan media sosial tidak hanya digunakan untuk sekedar bersosialisasi semata, namun juga telah meluas menjadi sarana bertukar informasi, berbisnis, berkampanye, mengajukan protes, dan ajakan berdemonstrasi.

Fenomena Hoaks

Fenomena hoaks bertujuan untuk membuat opini publik, menggiring opini publik, membentuk persepsi juga untuk having fun yang menguji kecerdasan dan kecermatan pengguna media sosial. Tujuan penyebaran hoax beragam, pada umumnya hoax disebarkan sebagai bahan lelucon atau sekedar iseng, menjatuhkan pesaing (black campaign), ataupun promosi dengan penipuan. Hal ini menyebabkan banyak penerima hoax terpancing untuk segera menyebarkan kepada rekan sejawatnya sehingga hoax dapat dengan cepat tersebar luas.

Menurut David Harley, ia mengidentifikasikan hoax secara umum. Pertama, informasi hoax biasanya memiliki karakteristik surat berantai dengan menyebarkan kalimat terror didalamnya. Kedua, informasi hoax sering kali tidak menyertakan tanggal kejadian atau tidak memiliki tanggal kejadian yang realistis dan tidak dapat diverifikasi. Ketiga, informasi hoax tidak memiliki tanggal kadaluwarsa pada peringatan informasi, meskipun kehadiran tanggal tidak membuktikan apapun tetapi dapat menimbulkan efek keresahan yang berkepajangan. Terakhir, tidak ada organisasi yang dapat diidentifikasi sebagai sumber informasi.

Pembahasan

Kasus hoaks yang terjadi di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (BEM FMIPA) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) ini dapat di lihat dari perspektif filsafat komunikasi melalui beberapa pendekatan, yang diantaranya sebagai berikut:  

Aksiologi

Sebuah ilmu ditemukan dalam rangka memberikan kemanfaatan bagi manusia. Dengan ilmu diharapkan semua kebutuhan manusia dapat terpenuhi secara cepat dan lebih mudah. Peradaban manusia akan sangat bergantung pada sejauh mana ilmu dimanfaatkan. Bedasarkan bahasa Yunani, aksiologi berasal dari kata 'axios' yang artinya nilai dan logos yang artinya ilmu. Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa aksiologi adalah 'ilmu tentang nilai'. Aksiologi lebih difokuskan kepada nilai kegunaan ilmu, apakah akan dipergunakan untuk suatu kebaikan atau akan digunakan sebagai sebuah kejahatan. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa aksiologi merupakan nilai ilmu yang didapat oleh seseorang akan terlihat dampak manfaatnya bergantung terhadap sejauh mana orang tersebut memanfaatkan ilmunya apakah ilmu tersebut dimanfaatkan untuk hal kebaikan atau sebaliknya.

Melihat permasalahan yang kita bahas, tersangka RAN (19) melakukan penyebaran hoaks tentang dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh MF (21) kepada mahasiswa baru UNY dan motif dari penyebaran hoaks tersebut adalah sakit hati dikarenakan pada saat itu RAN mendaftar di salah satu komunitas mahasiswa namun tertolak, sedangkan MF yang diterima. Jika dikaitkan masalah tersebut dengan sisi Aksiologi filsafat dapat dijadikan beberapa pertanyaan seperti, untuk apa tersangka melakukan penyebaran hoaks tersebut? Mengapa hal tersebut perlu ia lakukan? Dan bagaimana dia melakukan penyebaran hoaks? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan diatas yaitu:

  • Tersangka melakukan penyebaran hoaks tersebut bertujuan untuk menjatuhkan korban (MF) dan sanksi social dikarenakan merasa iri hati akibattemannya itu di terima di salah satu komunitas mahasiswa sedangkan ia tidak.
  • Ia merasa hal tersebut harus ia lakukan agar korban dapat dikeluarkan dari komunitas dan mendapatkan sanksi social.
  • Tersangka RAN melakukan penyebaran hoaks ini menggunakan platform 'X' yang dimana ia membuat sebuah berita bahwa seakan-akan dialah seorang mahasiswa baru yang dilecehkan oleh korban MF dan menggunakan akun yang bernama @UNYmfs.

Ontologi

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline