Influencer merupakan aktor yang berperan besar dalam dunia media sosial. Seperti seekor ayam besar sebagai induk yang diikuti oleh ayam-ayam kecil. Influencer merupakan pedoman bagi para pengikut mereka, influencer dapat memengaruhi pengikutnya untuk mengikuti tindakan ataupun gaya mereka. Para influencer kerap juga digunakan oleh merek-merek besar sebagai salah satu teknik pemasaran untuk menyebarluaskan produk dari merek mereka. Melalui konten video singkat yang menampilkan produk dengan ulasan positif, influencer dapat dengan mudah membujuk pengikutnya untuk membeli. Selain itu, mereka dapat menanamkan sifat-sifat negatif, seperti konsumerisme dan FOMO. Sebelum kita lanjut, mari kita mengenal istilah konsumerisme dan FOMO.
Berdasarkan pengertian dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, konsumerisme merupakan paham atau gaya hidup tidak hemat yang menganggap barang-barang mewah sebagai ukuran kebahagiaan, kesenangan, dan sebagainya. Sedangkan kata FOMO, Fear of Missing Out, merupakan bahasa gaul yang berarti takut ketinggalan akan suatu tren yang sedang terjadi di dunia maya.
Kedua sifat tersebut berdampak negatif bagi masyarakat. Kita ambil Labubu sebagai contoh. Boneka yang di produksi oleh POP MART berbentuk seperti monster dengan wajah yang menggemaskan ini menarik banyak hati orang-orang, terutama para remaja. Semenjak Lisa, idola kpop dari girl group BLACKPINK yang memang terkenal ini terlihat foto dengan memeluk boneka Labubu-nya, membuat para kpopers tertarik untuk membeli Labubu. Para influencer Indonesia juga turut ikut serta membeli Labubu dan membuat cuplikan video pendek yang menunjukkan Labubu itu, membuat Labubu makin populer. Popularitas Labubu yang makin lama makin meningkat ini membuat beberapa orang yang awalnya tidak tahu dengan eksistensi Labubu, tidak ingin tertinggal dan ikut membelinya, membuat Labubu menjadi sebuah tren di 2024.
Sikap orang-orang yang mereka perlihatkan ini menunjukkan sifat FOMO, mereka merasa takut tertinggal akan suatu tren. Sifat ini dapat berdampak buruk kepada kesehatan mental, kita dapat merasa tidak puas dan kecemasan sosial akan pandangan orang-orang.
Peristiwa kericuhan pembeli Labubu di POP MART Indonesia di Gandaria City Mall pada 15 September 2024 menjadi bukti nyata dari sifat FOMO. Ricuh dari para pembeli ini dikarenakan pihak dari POP MART Indonesia mengumumkan stok Labubu telah habis di toko mereka. Para pembeli yang sudah mengantre panjang tidak terima dan protes kepada pihak POP MART Indonesia. Aksi ricuh para pembeli ini melibatkan adegan fisik yaitu mendorong para pihak penjual.
Kejadian ini menjadi viral di TikTok dan X pada tanggal 16 September 2024, mencakup rekaman video oleh pengguna bernama @kacan9_mede di TikTok yang memperlihatkan para pembeli yang marah di depan toko POP MART Indonesia, dalam keterangan video nya, dia menuliskan "Kerusuhan Labubu hari ini, tiba-tiba ada informasi Labubu habis dan nggak bisa beli." Video cuplikan oleh akun @alialyshop juga menjadi viral yang menunjukkan salah satu pembeli marah dan saling tunjuk ke pembeli lainnya.
Habisnya stok Labubu di POP MART Indonesia bisa saja disebabkan oleh sifat konsumerisme para warga yang membeli boneka lucu tersebut. Labubu ini didapatkan melalui blind box, orang-orang yang membeli Labubu itu tidak akan mengetahui warna atau bentuk ekspresi apa yang akan mereka dapatkan, cukup manipulatif memang. Orang-orang yang tidak mendapatkan incaran-nya dari blind box tersebut akan membeli Labubu lagi dan lagi sampai mendapatkan incaran-nya. Salah satu faktor lain yaitu ada-nya sistem jasa titip (jastip), sistem jastip yaitu akan ada orang yang membayar lebih mahal ke orang yang akan membeli Labubu mereka secara langsung di POP MART Indonesia, biasanya para jastip akan membeli Labubu satu box penuh. Dikarenakan itu, mengapa stok Labubu dapat cepat habis di POP MART Indonesia.
Jadi, apakah influencer benar-benar berpengaruh pada permasalahan ini? Tentu saja iya. Ketenaran mereka yang dapat memengaruhi pengikutnya dan orang-orang lain karena menjadi sebuah tren itu menunjukkan seberapa kuat influencer pada era globalisasi saat ini. Meskipun influencer memiliki pengaruh signifikan terhadap masalah ini, bukan berarti mereka sepenuhnya bersalah. Lisa, misalnya, tidak mempromosikan Labubu secara langsung. Namun, pengikut Lisa ikut serta membeli boneka Labubu agar bisa sama dengannya. Akhirnya, boneka Labubu ini menjadi tren. Sifat pengikut Lisa dan orang-orang lainnya yang ikut membeli Labubu ini menunjukkan sifat FOMO yang timbul karena mereka sendiri, bukan karena Lisa.
Sifat konsumerisme dan FOMO merupakan sifat negatif warga Indonesia yang menjadi ancaman pada era globalisasi ini, mereka dapat berdampak buruk pada ekonomi Indonesia yang tidak stabil. Para warga seharusnya dapat mengontrol diri dari sifat FOMO mereka dan tidak mementingkan barang sekunder untuk kemewahan mereka melebihi barang primer. Lantas, bagaimana cara untuk mengontrol kedua sifat negatif tersebut? Penulis memiliki beberapa saran untuk menghindari sifat konsumerisme serta FOMO pada masa sekarang ini.
1. Membuat daftar anggaran
Pertama, penulis akan menulis beberapa barang yang ingin dibeli. Dan penulis akan memikirkan kembali: apakah barang ini sangat diperlukan? (darurat), apakah barang ini termasuk barang primer? Jika tidak, penulis akan mencoret nama barang tersebut di daftar-nya. Hal ini mencegah penulis mengeluarkan banyak uang untuk barang yang tidak diperlukan.