Bahasa dan sastra tidak dapat dipisahkan. Sastra merupakan suatu bentuk kegiatan kreatif dan produktif dalam menghasilkan karya-karya dengan nilai estetika yang mencerminkan realitas sosial masyarakat, dan sastra juga merupakan karya seni yang menggunakan bahasa sebagai media komunikasinya.
Menurut Luxemburg (Noor, 2015:37-38) hubungan antara ilmu bahasa dan ilmu sastra sudah ada sejak zaman Romawi Kuno dalam teori tentang "retorika". Retorika ialah ilmu kemampuan berbahasa, seperti peribahasa, ungkapan, dan gaya bahasa. Karya sastra tanpa adanya gaya bahasa bagaikan sayur tanpa garam akan menjadi hambar. Karena bahasa berpengaruh penting dalam menciptakan daya pikat bagi para pembaca.
Jika ditinjau dari kata sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta yaitu akar kata "sas" dalam kata kerja turunan berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau instruksi. Akhiran "tra" biasanya menunjukan alat, sarana. Oleh karena itu, sastra dapat berupa alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran (Teeuw, 2013: 20). Wellek dan Warren (2014: 3), menyatakan bahwa sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni.
Pembicaraan mengenai definisi sastra memang tidak pernah selesai untuk dibahas. Suatu teks bisa dikatakan sebagai teks sastra ketika kriterianya terpenuhi. Point kriteria sastra tergantung dari siapa yang memberikan kriteria tersebut.
Fananie (2000: 2) mengatakan bahwa suatu teks dapat digolongkan menjadi teks sastra apabila di dalamnya mengandung nilai estetik. Lebih lanjut Fananie mengatakan bahwa secara mendasar suatu teks sastra setidaknya mengandung tiga aspek utama yaitu decore (memberikan sesuatu kepada pembaca), delectare (memberikan kenikmatan melalui unsur estetik), dan movere (mampu menggerakkan kreativitas pembaca) (Fananie, 2000: 4).
Perkembangan bahasa dalam karya sastra dari dulu hingga sekarang mengalami perubahan. Pada awalnya, orang cenderung menyebut karya sastra sebagai "indah" baik dari segi kualitas, kerapian, kehalusan, ketidakkasaran, kekurangan, dan bahasa kotor tanpa stigma apapun.
Perubahan ini merupakan akibat dari fenomena sosial. Seiring dengan berubahnya keinginan dan selera masyarakat, hal yang semula tabu menjadi hal yang lumrah. Kata-kata seperti tai, pantat, dan kencing pada awalnya dihindari dalam karya sastra, tetapi sekarang dianggap sebagai kata umum. Jadi, dalam hubungan karya sastra baik lisan maupun tulisan, persoalan penggunaan bahasa sepenuhnya pengungkapan isi hati, perasaan, imajinasi, dan kenyataan yang dialami pengarang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H