Pasca reformasi tahun 1998, pertumbuhan partai politik mulai menyebar di seluruh Indonesia. Hal ini sebagai dampak adanya pembatasan dan fusi partai politik di Indonesia pada masa orde baru. Partai politik dipahami sebagai sebuah organisasi sebagai wadah aspirasi rakyat untuk ikut berpartisipasi dalam proses politik (Budiardjo, 2018). Berbeda dengan organisasi masyarakat lain, partai politik merupakan organisasi masyarakat yang didirikan untuk mempengaruhi karakter kebijakan public berdasarkan kerangka serta prinsip kepentingan tertentu dalam praktek kekuasaan baik secara langsung maupun berdasarkan partisipasi masyarakat dalam pemilu (Mark N. Hangopian dalam Amal, 1988: xi).
Setidaknya terdapat 5 fungsi dari partai politik sebagai wadah aspirasi masyarakat pada negara demokrasi, diantaranya sebagai sarana komunikasi politik, sarana pengatur konflik, sarana rekrutmen politik, sarana sosialisasi politik serta sebagai sarana agregasi dan artikulasi kepentingan rakyat (Budiardjo, 2018). Selain itu dalam mengkonstruksi demokrasi, partai politik juga memiliki 7 fokus utama yang berkaitan dalam hal pengajuan calon kandidat wakil rakyat, pemberian kritik dan input terhadap pemerintah yang berkuasa, pemersatu pemerintah, menentukan pejabat institusi negara, memobilisasi masyarakat untuk ikut serta dalam pemilu, mengkonstruksi dan mewadahi opini masyarakat serta bertanggung jawab atas kerja pemerintah.
Berdasarkan (Scarrow, 2005) sebuah partai politik yang demokratis dapat diukur berdasarkan seberapa besar keterlibatan para anggota hingga kelompok pendukung partai politik terlibat dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan seleksi dan rekrutmen kandidat, penentuan pemimpin hingga penetapan kebijakan dalam sebuah partai politik. Berdasarkan indicator tersebut dapat dianalisis bahwa dalam menilai indeks demokrasi sebuah partai politik dapat dilihat dari bagaimana aktivitas serta manajerisasi internal dari partai politik itu sendiri. Manajemen partai politik menjadi sangat penting dalam berdirinya sebuah partai politik. Bagaimana kepentingan yang dibawa oleh partai politik, bagaimana kebijakan perekrutan anggota, bagaimana proses kandidasi calon parlemen yang akan maju, bagaimana manajerisasi yang dilakukan jika terjadi konflik merupakan bagian dari manajemen partai politik yang sangat perlu diperhatikan.
Hofmeister dan Grabow (2011) menjabarkan 10 indikator utama dalam manajemen partai politik diantaranya, (a) keanggotaan dan kelembagaan. (b) anggota partai politik. (c) rekrutmen dan kaderisasi anggota. (d) program kerja partai. (e) komunikasi partai baik internal maupun eksternal. (f) pendidikan dan pelatihan anggota partai. (g) kuota bagi minoritas dan perempuan. (h) demokrasi internal partai. (i) pembiayaan partai. (j) manajemen konflik partai. Kesepuluh indicator ini menjadi cukup relevan untuk diterapkan di Indonesia, melihat Indonesia merupakan negara demokrasi yang modern dan terdapat focus isu yang sama dalam manajemen partai politik di Indonesia dengan indicator yang dijabarkan oleh Hofmeister dan Grabow.
Oleh karenanya untuk dapat menciptakan iklim yang demokratis di Indonesia, manajemen partai politik perlu menjadi focus utama. Dalam sebuah karya berjudul "Parties and Party Systems: Modernisation, Regulation and Diversity" ditemukan bahwa untuk dapat membangun merealisasikan proses manajemen partai politik yang modern, perlu adanya penguatan pada dasar hukum serta pelembagaan partai politik. Revisi atau pembuatan peraturan baru perlu dilakukan dengan memperhatikan beberapa aspek yang diantaranya berkaitan dengan akuntabilitas, pendanaan partai politik dan transparansi dari partai poltik terkait realisasi anggaran hingga proses pembuatan kebijakan.
Peraturan terbaru mengenai partai politik di Indonesia telah diatur dalam UU No 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. UU ini telah mengatur hampir seluruh indicator yang dalam berdirinya partai politik. Jika dianalisis lebih lanjut berkaitan dengan indikator yang dijabarkan oleh Hofmeister dan Grabow, UU No 2 Tahun 2011 ini sudah hampir memenuhi kesepuluh indicator tersebut. Dimana indicator tersebut telah tercantum dalam pasal-pasal yang ada pada UU No 2 Tahun 2011 dengan ketentuan lebih lanjut berdasar pada AD/ART partai politik.
Salah satu yang kemudian penulis angkat sebagai bahan analisis indicator manajemen partai politik adalah AD/ART yang diterapkan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Sama seperti pada UU No 2 Tahun 2011, dalam AD/ART PDIP Periode 2019-2024 indikator manajemen partai politik cukup lengkap tercantum diantaranya:
1.Indicator keanggotaan serta organisasi, dalam AD/ART PDIP, indicator pertama ini tercantum jelas pada Bab IV tentang keanggotaan yang di dalamnya mengatur tentang rekrutmen, jenis dan masa berakhir keanggotaan. Dan terkait dengan organisasi, tercantum jelas dalam BAB V, yang terdiri atas struktur kepengurusan partai politik.
2.Indicator anggota partai politik, pada AD/ART PDIP, indicator ini tercantum dalam pada Bab IV tentang keanggotaan pasal 12 sampai pasal 25. Anggota partai politik dalam AD/ART ini diatur mulai dari jenis keanggotaan hingga sanksi dan pemberhentian sebagai anggota partai politik.
3.Indikator rekrutmen anggota baru, pada Anggaran, indicator rekrutmen ini tercantum dalam pasal 11 yang secara lebih lanjut dibahas pada Anggaran Rumah Tangga PDIP terkait syarat keanggotaan.
4.Indicator pendidikan dan pelatihan anggota partai, indikator ini telah tercantum dalam Bab VII Anggaran Dasar tentang Pendidikan Politik. Bab ini terdiri atas tugas dan fungsi pendidikan politik dan sistem kaderisasi yang mencakup sekolah partai bagi anggota.
5.Indicator program partai politik, tercantum dalam bagian PAC Partai pasal 61 dimana PAC bertugas sebagai pelaksana program partai pada tingkat kecamatan. Dan tercantum pula pada bagian pengurus ranting partai pasal 62 sebagai pelaksana program partai tingkat desa/kelurahan.
6.Indicator komunikasi internal dan eksternal, indicator komunikasi internal partai tercantum pada pasal 17 Anggaran Rumah Tangga PDIP. Sedangkan komunikasi internal dijalankan oleh Satgas Partai yang diatur pada pasal 55 Anggaran Dasar PDIP dan Sekretaris Jenderal pada pasal 34 Anggaran Dasar PDIP
7.Indicator demokrasi internal partai, indicator ini tercantum dalam Pasal 17 Anggaran Rumah Tangga PDIP.
8.Konflik partai dan resolusi konflik, untuk resolusi konflik ini hanya diatur dalam pasal 24 bagian pemecatan / pemberhentian anggota partai.
9.Kuota bagi perempuan dan minoritas, indicator ini tercantum dalam Anggaran Dasar PDIP Bagian 19 pasal 60. Dimana terdapat kuota keterwakilan perempuan sebesar 30% dari keseluruhan DPP, DPD maupun DPC Partai.
10.Pembiayaan partai, terkait dengan pembiayaan keuangan partai PDIP tercantum dalam Bab V tentang Pengelolaan Keuangan dan Pembendaharaan Partai pasal 87,88 dan 89.
Dari penjabaran antara AD/ART Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan indicator yang digagas oleh Hofmeister dan Grabow, dapat disimpulkan bahwa indicator manajemen partai politik telah hampir tercantum seluruhnya dalam AD/ART PDIP. Meskipun diantaranya masih terdapat beberapa indicator yang belum tercantum secara jelas. Dalam AD/ART PDIP, indicator program partai belum terdefinisi secara jelas. Indicator ini hanya tercantum sekilas pada pasal lain yang berkaitan. Belum ada penjabaran mengenai struktur program partai yang diusung oleh PDIP dalam AD/ARTnya. Selain itu, indicator demokrasi internal partai juga menjadi salah satu yang tidak terlihat jelas dalam AD/ART PDIP. Indicator demokrasi internal ini belum dijabarkan secara lebih rinci oleh PDIP, sehingga belum ada pedoman jelas bagaimana proses demokrasi internal partai dari PDIP itu sendiri. Terakhir, indicator konflik dan resolusi konflik partai juga belum terdapat strukturasi yang jelas dalam AD/ART PDIP. Padahal indicator ini menjadi salah satu yang cukup krusial menurut saya mengingat konflik dapat marak terjadi dalam lingkup partai politik.
Meskipun hampir seluruh indicator telah terpenuhi dalam AD/ART partai, namun ternyata pada kenyataannya, indicator utama dan fungsi partai politik berkaitan dengan rekrutmen tidak berjalan secara demokratis pada partai politik. Rekrutmen anggota partai politik terdiri atas 2 jenis yaitu antara rekrutmen terbuka dimana partai poltiik memberi kesempatan seluas-luasnya bagi siapapun yang ingin mendaftar menjadi anggota partai politik asal memenuhi syarat dan rekrutmen tertutup yaitu rekrutmen yang diperuntukkan bagi orang-orang tertentu. Rekrutmen merupakan suatu proses yang sangat mendasar dalam sebuah partai politik dan mekanismen jenis rekrutmen politik ini akan sangat berdampak pada struktur internal dan eksternal partai politik itu sendiri.
Oleh karenanya, untuk dapat mewujudkan partai politik yang demokratis perlu adanya proses rekrutmen yang berkualitas supaya dapat menghasilkan anggota partai yang nantinya akan dipersiapkan menjadi bakal calon wakil rakyat yang berkualitas pula. Rekrutmen ini nantinya akan berdampak pula dalam ajang pesta demokrasi pemilu supaya dapat melahirkan pemimpi yang berkualitas bagi masyarakat.
Saat ini, permasalahan mengenai rekrutmen politik dalam partai politik masih menjadi hal yang perlu mendapat perhatian lebih. Sebab banyak partai yang kerap kali melakukan perekrutan "instan" menjelang pemilu dilaksanakan. Target perekrutan instan yang biasanya diincar oleh partai politik adalah orang-orang yang memiliki popularitas tinggi untuk memudahkan memperoleh dukungan dari para pemilih. Padahal seharunya, perekrutan anggota partai politik lebih mengedepankan kandidat yang memiliki pengalaman serta kredibilitas dan integritas yang tinggi bukan hanya dilihat dari popularitasnya saja.
Fenomena perekrutan instan ini menjadi salah satu bukti nyata kegagalan kaderisasi yang ada pada partai politik. Dapat dilihat pada pemilu 2019 silam, terdapat 54 bakal caleg berasal dari kalangan artis. Fenomena artis yang menjadi caleg ini kemudian memunculkan pro kontra. Meskipun termasuk dalam jenis rekrutmen terbuka dengan membuka peluang seluas-luasnya bagi semua orang untuk menjadi caleg. Namun di sisi lain fenomena ini dianggap hanya berfokus pada aspek popularitas saja tanpa memilah calon kandidat yang lebih berkualitas dan memiliki pemahaman lebih dari sisi politiknya.
Contoh lain berkaitan dengan kegagalan rekrutmen juga dapat dilihat dalam pilkada kota Tangerang Selatan tahun 2020 silam. Rekrutmen yang dilakukan oleh beberapa partai politik tidak sesuai dengan keinginan public. Sebab, terdapat perekrutan yang dapat berdampak pada politik dinasti. Dimana, pasangan calon Pilar Saga dan Siti Nur Azizah Ma'ruf direkrut secara tertutup. Pilar Saga yang memiliki keterkaitan latar belakang politik dinastinya degan mantan Gubernur Banten dan Siti Nur Azizah Ma'ruf yang merupakan anak dari Wakil Presiden RI, Ma'ruf Amin. Melihat hal ini, public merasa bahwa rekrutmen politik ini hanya sebagai formalitas. Terdapat ketidakkonsistenan parpol pada transisi kekuasaan politik dengan adanya intervensi dari elite poltik dan politik dinasti.
Selain fenomena rekrutmen politik berdasarkan popularitas dan latar belakang politik, permasalahan rekrutmen politik parpol juga berkaitan dengan adanya caleg dari mantan koruptor. Banyak partai politik yang tidak sepakat dengan PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang pencalonan anggota DPR, DPRD Prov/Kota, dimana KPU melarang adanya mantan narapidana yang mencalonkan sebagai anggota legislative. PKPU ini hanya dianggap sebagai formalitas kebijakan biasa oleh partai poltiik. Sebab pada pemilu 2019 lalu, masih ditemukan partai politik yang mengajukan kandidat calon mantan koruptor yang mana sangat menentang PKPU tersebut. Hal ini kemudian menjadi gambaran bagaimana buruknya proses manajemen partai politik berkaitan dengan rekrutmen dan kaderisasi yang kurang baik dalam partai politik. Sebab jika rekrutmen dan kaderisasi berjalan dengan baik, larangan pencalonan mantan narapidana korupsi bukanlah suatu masalah besar bagi sebuah partai politik karena pastinya mereka memiliki kader yang bersih dan berkualitas.
Sebagai kendaraan politik yang akan menghasilkan kandidat wakil rakyat, seharusnya terdapat transparansi dari partai politik. Fungsi rekrutmen politik partai politik harus berjalan secara demokratis. Sebab nantinya, kualitas rekrutmen politik ini akan berdampak langsung kepada kualita pemimpin yang terpilih. Perlu adanya manajemen partai politik yang modern dan demokratis serta perubahan peraturan terkait syarat pencalonan anggota politik supaya para pemimpin selanjutnya setidaknya merupakan orang yang paham akan politik bukan hanya orang yang memiliki popularitas saja. Sehingga demokratisasi dapat berjalan dengan baik seiring dengan penguatan manajemen partai politik modern.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H