Lihat ke Halaman Asli

Cerpen | Aku, Dia dan Secangkir Kecemburuan

Diperbarui: 10 Juli 2019   13:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ini merupakan hari yang sangat spesial bagi dia, pemuda Minang yang tampan. Ia juga menjadi sahabatku, namanya Arief. Kami telah mengenal satu sama lain sejak ayahnya dipindahtugaskan dari Agam ke Semarang lima belas tahun yang  lalu atau bertepatan dengan tahun ajaran baru tingkat Sekolah Dasar.  Awalnya kami tidak terlalu dekat, apalagi dia bukan orang kampungku. Akan tetapi semenjak ibunya telah tiada, dia sering bermain denganku bahkan tinggal di rumahku karena dia juga merupakan anak tunggal. Ayahnya sibuk katanya. Dia bahkan hanya sekali dua kali dalam sebulan melihat ayahnya, karena keluarga kami merasa iba, hmm bukan iba sih sebenernya, lebih mengarah kepada hutang budi, Arief sudah seperti saudara kandungku selain adik kecilku, Rahmi.

Oiya seperti yang telah kusebutkan di atas biasannya Arief tak pernah merayakan ulang tahunnya, paling hanya dirayakan makan bersama di rumah. Akan tetapi tidak kali ini, usia kita sudah cukup dewasa dan bolehlah diizinkan untuk merayakan di luar kebiasaan. Aku dan Arief berencana merayakan ulang tahunnya di Sky Villa, sebuah penginapan dan destinasi wisata terkenal di daerah ini sekalian berlibur akhir pekan ujarnya. Kami hanya merayakan secara pribadi, bersama keluargaku, jadi hanya ada aku, Arief, Ibu, Ayah, dan Rahmi. Kami seperti sebuah keluarga bahagia bukan!

Malam sebelum bepergian, Arief dan aku berbincang banyak dan kami menyiapkan semua barang-barang yang diperlukan Bersama. Dia memang cekatan, bahkan sangat disiplin. Akan tetapi ia terkadang menjadi orang yang bingung jika menghadapi hal-hal yang sepele.

"Kamu mau pakai baju apa besok?"

"Hmm, apa ya? Kalau blouse putih bagaimana?"

"Oke boleh, aku juga ikut."

Aku kemudian tersenyum. Baju saja dia bingung padahal kan itu hal yang sepele. Sangat sepele malah. 

"Kamu kenapa senyum-senyum gitu? Ketawain aku ya?"

"Hehe.. enggak, cuma pengen senyum aja."

"Kalau pengen senyum, senyum aja, kan bisa ngajak-ngajak." ujarnya sambal menggaet pundakku dengan tangan.

Aku tidak kaget. Kami memang berbeda gender. Perlakuannya kepadaku  memang seperti itu. Entah dia mengganggap itu sebuah bentuk keakraban atau apa. Yang jelas aku maklumi karena kita sudah seperti saudara sedarah. Bahkan mungkin terkadang timbul perasaan lain di dalam benakku. Salahkah?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline