Secara kultural pemimpin atau pejabat biasanya memiliki kedudukan sosial dan ekonomi yang tinggi di masyarakat. Berpakaian rapi, menggunakan jas, bekerja dibalik meja, berada di ruangan AC, dan memiliki kekayaan adalah gambaran pejabat secara umum. Berbagai kemewahan dan latar belakang dari kalangan elite tersebut membuat masyarakat merasa tidak terwakili dengan sosok yang demikian.
Muncullah sosok yang menjadi antitesis dari stigma pejabat yang terkesan glamor dan dari kalangan elite. Masyarakat dibuatnya terkagum-kagum dan terkesima dengan kerja nyata yang dilakukannya. Sikap naturalnya sebagai rakyat biasa atau wong cilik dengan program “blusukan” menjadi senjata andalan Pak Jodo untuk menarik simpati para partisipan pemilu.
Fenomena yang monumental adalah ketika Pak Jodo blusukan masuk ke selokan untuk memantau kondisi secara langsung. Dengan berbagai program dan sikapnya, sebagian masyarakat bahkan media menilai Pak Jodo merupakan sosok yang merepresentasikan rakyat kecil dan memiliki keinginan yang kuat dalam memajukan bangsa.
Selokan menjadi jalan politik Pak Jodo dalam mengawali karier dalam gelanggang politik nasional. Masyarakat, media, ulama, dan cendekiawan menaruh harap kepada “Satrio Piningit” yang seolah merepresentasikan wong cilik. Suksesnya beliau menjadi orang nomor satu seolah menandakan bahwa demokrasi Indonesia mengalami kemajuan. Artinya siapa saja dan dari kalangan mana pun di negeri ini bisa menjadi presiden.
Gebrakan di awal periode dilakukan oleh Pak Jodo dengan membuat Nawacita (sembilan tujuan) yang merupakan visi yang mulia bagi kemajuan bangsa. Dari kepemimpinan Pak Jodo di periode pertama yang terlihat hanyalah pembangunan infrastruktur di berbagai daerah. Tentu pembangunan yang terus menerus membuat utang negara semakin menumpuk. Terjadi berbagai pro dan kontra dari kepemimpinan Pak Jodo periode pertama, di akhir periode pertama sudah banyak masyarakat dan cendekiawan yang curiga dengan kiprah Pak Jodo dalam memimpin bangsa.
Dalam proses menuju periode kedua, masyarakat masih mempercayakan suaranya kepada Pak Jodo untuk memimpin bangsa. Dengan dinamika polarisasi dan konflik horizontal di masyarakat, tapi pada akhirnya Pak Woto dan Pak Jodo melakukan rekonsiliasi. Dalam periode kedua, pandemi menjadi tantangan terbesar Pak Jodo, anggaran dan segala kebijakan disesuaikan dengan kebutuhan penanganan pandemi.
Memasuki masa endemi, Pak Jodo sudah memiliki peran yang mulai dominan sebagai kepala keluarga yang baik untuk anak dan menantunya. Mas Gira dan Mas Bonu melenggang menjadi wali kota di masing-masing wilayah. Tentu dengan bantuan dan sosok Pak Jodo yang memiliki strategi khusus dalam menyukseskan Pilkada. Artinya kekuasaan Pak Jodo mengalami perluasan di daerah yang ditempuh melalui praktik orang dalam, walaupun secara hukum tertulis tidak melanggar dan dilakukan secara demokratis.
Masuknya Pak Woto dalam kabinet Pak Jodo, menjadi pertanda kerja sama mutualisme terjadi yang diperuntukkan pada Pemilu 2024. Terbukti siasat politik ini terjadi menjelang Pemilu, MK yang diketuai oleh adik ipar Pak Jodo mengabulkan keputusan yang memberikan lampu hijau kepada Mas Gira untuk mendampingi Pak Woto menjadi calon wakil presiden 2024. Perdebatan keputusan kontroversial MK menjadi topik yang menarik di berbagai diskusi pada masyarakat dari kelas bawah hingga atas.
Tetapi, atas siasat politik Pak Jodo yang berpengalaman pandai melihat kondisi psikis akar rumput partisipan Pemilu, Pak Woto dan Mas Gira berhasil memenangkan kontestasi. Tentu saja faktor kemenangan pasangan “gemoy” tidak lepas dari andil dari sebagian pihak yang sudah “dibeli” seperti para influencer, ulama, ormas, akademisi, hakim, konstitusi, kepala desa, PLT Kepala Daerah, Bansos, dan rakyat awam. Rangkaian demi rangkaian fenomena sedikit demi sedikit menunjukkan wajah asli Pak Jodo yang haus akan kekuasaan.
Teranyar adalah fenomena Pak Jodo yang sudah tidak sejalan dengan partai pengusungnya dan mencari kendaraan lain untuk kontestasi politik. Hal ini tercermin dengan anak bungsu beliau Mas Kapa secara ajaib dua hari baru masuk suatu partai yang merepresentasikan anak muda, langsung diangkat menjadi ketua umum partai anak muda. Tapi, tampaknya partai anak muda ini belum bisa menjadi kendaraan politik keluarga Pak Jodo karena tidak lolos ke parlemen.
Tentu Pak Jodo tidak kehilangan akal, secara mengejutkan Pak Ato ketua umum partai besar mengundurkan diri sebagai ketua umum. Kabar yang beredar partai ini akan dijadikan Pak Jodo sebagai kendaraan politiknya, walaupun masih terbentur dengan ADRT. Tetapi bukan Pak Jodo namanya kalau tidak mengubah aturan untuk mencapai tujuannya. Waktu yang terus berjalan, semakin menampakkan watak asli Pak Jodo yang tadinya merepresentasikan wong cilik menjadi wong licik.