Lihat ke Halaman Asli

Hidden Curriculum: Hembusan Angin yang Menggerakkan Kapal Pendidikan

Diperbarui: 16 Mei 2024   21:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Fenomena siswa tidur di kelas, main hp di kelas, bolos pelajaran mungkin menjadi hal yang sering terjadi di ruang kelas. Biasanya perilaku siswa yang seperti itu dikarenakan oleh penyampaian guru yang monoton, guru yang cuek, pelajaran yang tidak disukai, dan banyak faktor yang lain. Siswa cenderung segar dan bersemangat ketika sedang istirahat atau pulang sekolah, mereka bersemangat berinteraksi dengan teman-teman atau kepada warga sekolah lain. Melihat fenomena tersebut, ternyata benar konsepsi pendidikan tiga dinding yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara. Konsep tiga dinding menurut Bapak Pendidikan Nasional itu adalah ruang kelas sebaiknya menggunakan tiga dinding saja, dan satu dinding dibiarkan terbuka agar siswa dapat melihat luasnya dunia. Artinya, bahwa pendidikan tidak selalu berada di ruang kelas, tetapi harus melibatkan cakupan yang lebih luas, yakni belajar dari lingkungan. Dengan konsepsi pendidikan tiga dinding, maka pembelajaran teoritis di kelas dapat dikontekstualkan dengan lingkungan sekitar dan siswa dapat mendapatkan pelajaran dari satu dinding yang terbuka.

Habitus sekolah, pola interaksi siswa, budaya sekolah, keadaan sosiologi sekolah, program ekstrakurikuler dan pengembangan diri, merupakan satu dinding yang terbuka yang dimaksudkan oleh Ki Hajar Dewantara. Tanpa terbukanya satu dinding kelas maka ide dan gagasan akan stagnan dan teori hanyalah sekadar kumpulan kata. Dengan itu maka, pendidikan negeri ini harus mengoptimalkan satu dinding terbuka yang dimaksudkan Bapak Pendidikan Nasional.  Dalam dunia pendidikan, satu dinding terbuka tersebut dinamakan hidden curriculum. Secara bahasa hidden curriculum berarti kurikulum tersembunyi, secara istilah adalah segala aktivitas yang berkaitan dengan proses pendidikan yang tidak direncanakan atau berkaitan erat dengan sosiologi pendidikan di sekolah. Dimensi hidden curriculum mencakup penanaman nilai di kelas, budaya sekolah, pengembangan diri siswa, dan sosial. Cakupan tersebut merupakan suatu yang penting sebagai pendukung muatan kurikulum formal yang diajarkan di kelas.

Sesungguhnya fenomena gonta-ganti kurikulum terjadi tidak memengaruhi peran hidden curriculum sebagai pendamping atau pendukung kurikulum formal. Hidden curriculum melalui habitus sekolah, pola interaksi warga sekolah, budaya sekolah, keadaan sosial, dan program pengembangan diri siswa, selalu berperan dalam pembentukan karakter dan pengetahuan siswa. Sayangnya, konsep hidden curriculum di kalangan akademisi, dosen, pemangku kebijakan, kepala sekolah, wakil bidang kurikulum, jarang diperhatikan dan dianggap sesuatu yang tidak terlalu berdampak pada nilai. Hidden curriculum sesungguhnya menekankan pada proses pendidikan bukan pada nilai yang menjadi dewa di negeri ini. Pola pikir kebanyakan akademisi dan masyarakat dari dulu dalam memandang pendidikan adalah pada hasil akhir, bukan pada proses pendidikan yang dilalui. Tidak heran jika banyak dosen, guru, mahasiswa, pelajar melestarikan kebiasaan menyontek dan menjoki tugas, hanya untuk mendapatkan hasil akhir yang bagus. Padahal, esensi pendidikan adalah pada proses yang dilalui.

Hidden curriculum ibarat hembusan angin yang menggerakkan kapal pendidikan di samudra lepas. Dengan kata lain bahwa hidden curriculum adalah pendamping dan pendukung kurikulum formal dalam proses pendidikan di sekolah. Kurikulum formal yang memuat seperangkat mata pelajaran merupakan hal yang penting di sekolah. Tanpa ada kurikulum formal maka sekolah tidak dapat berjalan tanpa arah. Hidden curriculum yang memuat keadaan sosiologis sekolah juga memiliki peran penting dalam proses pendidikan di sekolah. Tanpa ada hidden curriculum maka siswa akan bosan dan tidak dapat mengembangkan teori. Oleh karena itu, para akademis, pemangku kebijakan, dan penyelenggara pendidikan harus kembali mengingat konsep tiga dinding Ki Hajar Dewantara. Dengan memandang hidden curriculum sebagai suatu yang penting dalam proses pendidikan sebagai pendamping dan pendukung kurikulum formal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline