Lihat ke Halaman Asli

Penghambat Pembelajar Sepanjang Hayat; Budaya Popularitas dan Instan

Diperbarui: 2 Januari 2024   11:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://www.canva.com/design/DAFfPg2RhBQ/

Sosial media sudah menjadi dunia baru bagi masyarakat era awal abad ke-21. Manusia modern dalam mencari pengakuan atau validasi tidak hanya di dunia nyata saja, tetapi juga di dunia maya melalui media sosial. Peralihan perilaku dan budaya masyarakat tersebut menghasilkan budaya baru yakni budaya untuk menjadi seseorang yang popular dan dikenal banyak orang. Semua orang seolah berlomba mendapatkan like dan followers yang banyak agar psikisnya terpuaskan karena dikenal banyak orang. Mirisnya adalah popularitas di sosial media didapatkan bukan melalui prestasi, capaian, kecerdasan, gagasan, atau hal positif lainnya. Popularitas justru didapatkan melalui wajah cantik, goyangan seksi, hal bodoh, dan sesuatu yang memiliki kecenderungan negatif. Akibatnya banyak anak-anak sekarang memiliki keinginan untuk popular dengan melalukan hal bodoh sekalipun. Di sisi yang lain, sesuatu yang positif seperti ranah ilmu pengetahuan tidak terlalu diminati oleh anak-anak karena budaya netizen tidak mendukung seseorang menjadi popular. Kemudian muncul fenomena bahwa menjadi youtuber, selebgram, seleb tiktok, menjadi cita-cita sebagian anak-anak di masa sekarang. Fenomena baru tersebut sekaligus berdampak pada persepsi anak terhadap pendidikan dan ilmu pengetahuan, hal tersebut juga memengaruhi motivasi anak dalam menjadi pembelajar.

Menurut Charles Horton Cooley melalui teori cermin sosial mengatakan bahwa popularitas dapat dipahami melalui bagaimana individu melihat diri mereka melalui persepsi orang lain. Artinya popularitas disebabkan karena persepsi masyarakat secara umum dalam melihat sesuatu. Dengan kata lain popularitas tergantung persepsi masyarakat, maka popularitas tergantung dalam pribadi dan persepsi setiap individu. Sesungguhnya budaya popularitas yang terjadi di Indonesia sekarang ini menimbulkan bias persepsi di masyarakat. Kemudahan dalam mencapai popularitas melalui hal-hal yang sepele dan mudah dilakukan memunculkan persepsi bahwa untuk menjadi popular dan mendapatkan banyak uang dapati dilakukan dengan instan. Di lain sisi, proses akademis, prestasi akademik, kegiatan literasi, dan diskusi adalah suatu hal yang kalah popular dengan sesuatu yang sepele dan menghibur. Dengan demikian, bangsa ini seolah menjadi bangsa yang gandrung akan hiburan, popularitas, dan budaya instan dalam mencapai tujuan.

Beralih ke budaya instan yang menjadi bias dari popularitas bangsa Indonesia. Budaya instan merupakan cara yang dilakukan oleh orang untuk mendapatkan tujuan tertentu dengan cara yang mudah dan tidak melewati proses yang seharusnya. Budaya instan muncul karena individu terlalu fokus pada tujuan yang dicapai sehingga melupakan proses-proses yang harusnya dialami. Dalam konteks pendidikan, budaya instan menjadikan siswa menghalalkan segala cara untuk mendapatkan nilai yang baik. Dalam fenomena dunia pendidikan muncul isitlah menyontek, joki tugas, jual beli ijazah, dan segala tindakan instan yang lain. Padahal esensi dari sebuah pendidikan adalah suatu proses dalam menerima, menganalisis, dan mengelaborasi informasi menjadi suatu ilmu pengetahuan. Artinya, budaya instan merupakan masalah persepsi individu dalam ambisi mencapai tujuan, yang berdampak bagi kualitas pendidikan di negeri ini.

Melihat realitas budaya popularitas di negeri ini yang ditempuh hanya melalui keelokan rupa, keunikan perilaku, dan segala hal yang bersifat hiburan. Sementara sedikit ruang bagi prestasi, gagasan, diskusi, dan berbagai forum ilmu untuk menjadi popular di negeri ini. Sesungguhnya fenomena demikian menjadikan budaya instan terbuka lebar dan digandrungi oleh masyarakat Indonesia. Konten yang menyebabkan viral di media sosial seakan menjadi cita-cita setiap manusia negeri ini. Sehingga menyebabkan masyarakat menggunakan cara instan menghalalkan segala cara untuk bisa mendapatkan perhatian masyarakat dunia maya. Tentunya fenomena ini menjadi suatu tantangan bagi dunia pendidikan. Budaya popularitas di negeri ini harus sedikit demi sedikit diubah dengan memberikan ruang yang besar pada konten yang berkaitan dengan pendidikan. Serta diperlukan kesadaran bahwa dalam mencapai tujuan diperlukan proses-proses yang panjang, agar masyarakat mengerti bahwa proses adalah suatu yang penting. Melalui kesadaran mengenai pentingnya proses, maka pendidikan bukanlah sekadar mendapatkan nilai, memperoleh ijazah, dan memperoleh pujian guru atau masyarakat, tetapi lebih dari itu, pendidikan adalah menghargai dan menghayati proses demi proses yang dialami sehingga sampai pada substansi pendidikan yang sesungguhnya.

Realitas mengenai budaya popularitas melalui sensasi yang menyebabkan budaya instan tumbuh di masyarakat modern, menyebabkan lunturnya kesadaran berproses dalam sudut pandang pendidikan. Pendidikan menjadi suatu hal yang menghantui anak-anak di Indonesia karena hadirnya dunia maya yang membawa budaya popularitas dan instan yang lebih disukai. Maka yang terjadi adalah kultur ilmu pengetahuan tidak akan tumbuh, esensi berproses hilang, dan  kesadaran pembelajar sepanjang hayat luntur. Muara dari tulisan ini adalah bahwa untuk menciptakan kesadaran pembelajar sepanjang hayat dalam diri masyarakat masih terdapat hambatan. Budaya popularitas dan instan menjadi permasalahan yang dihadapi di era media sosial sekarang ini dalam menyadarkan masyarakat mengenai pentingnya berproses dalam pendidikan sepanjang hayat. Oleh karena itu, menjadi tugas bersama semua elemen masyarakat, akademisi, pemerintah, dan publik figur yang mempunyai kesadaran pentingnya menjadi pembelajar sepanjang hayat untuk bersuara dan berkontribusi bagi kualitas sumber daya manusia negeri ini.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline