Lihat ke Halaman Asli

Menghidupkan Filosofi Jawa "Nerimo ing Pandum"

Diperbarui: 5 Juli 2023   13:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://mtbfm.co.id/wp-content/uploads/2019/07/SUKU-JAWA.jpg

Nerimo ing pandum merupakan sebuah filosofi berkehidupan dari budaya Jawa yang menyerukan untuk bersyukur kepada Tuhan atas apa yang dimilikinya. Filosofi ini menjadi bukti bahwa orang Jawa memiliki tingkat spiritualitas yang tinggi. Dalam buku Tasawuf Jawa disebutkan bahwa orang Jawa sebelum masuknya Islam ke tanah Jawa sudah memiliki spiritualitas yang tinggi. Namun spiritualitas mereka  masih kepada arwah maupun pohon-pohon yang biasa dikenal dengan animisme dan dinamisme. Sudah adanya konsep spiritualitas tersebut memudahkan para Walisongo untuk memasukkan ajaran-ajaran Islam melalui budaya dan kultur sehingga Islam diterima dengan baik di Jawa.

Filosofi nerimo ing pandum berarti sikap penerimaan secara penuh pada hal yang telah berlalu, yang berlangsung sekarang, dan berbagai kemungkinan di masa depan. Bila dikaitkan dengan ajaran Islam maka anjuran untuk bersyukur kepada Tuhan dengan segala qodho qodar-Nya yang menjadi rukun Iman ke-6. Sinergi filosofi Jawa dan Islam merupakan sesuatu yang menegaskan bahwa nerimo ing pandum merupakan salah satu landasan hidup yang seharusnya ditanamkan pada karakter manusia pada umumnya.

Istilah atau filosofi Jawa yang berarti menerima segala hal yang sudah lalu, masa sekarang, dan kemungkinan yang akan datang. Nerimo ing pandum bagi masyarakat modern sedikit terlupakan, karena hiruk pikuk kehidupan modern yang serba glamor, mewah, serta mengutamakan gengsi. Rasa legawa dan menerima berbagai keadaan yang diberikan Tuhan cenderung menjadi rasa tidak puas, keserakahan, dan hedonisme. Ketiga hal tersebut terjadi karena masyarakat modern di berbagai kalangan baik kaya maupun miskin terlalu memikirkan ‘ke-aku-an’ yang menyebabkan timbulnya sikap egois sehingga cenderung tidak legawa.  Berangkat dari sikap egois maka akan timbul keserakahan dan tidak pernah merasa puas, karena terus menuruti jiwa ‘ke-aku-an’ yang didasari dengan nafsu di hati mereka.

Dampak tidak tertanamnya filosofi nerimo ing pandum menyebabkan mereka tidak mensyukuri apa yang Tuhan berikan yang kemudian muncul gejolak iri dan dengki di hati mereka. Gambaran  yang tepat untuk masyarakat modern adalah “banyak orang yang susah melihat orang yang lain senang, dan senang melihat orang lain susah.” Realita yang ada adalah rasa kecemburuan sosial merajalela, banyak orang saling cemburu satu sama lain atas apa yang dimiliki satu sama lain.

Masyarakat modern yang kaya tidak puas dengan hanya mempunyai mobil satu harus dua atau tiga.  Para penguasa tak cukup dengan satu jabatan yang gajinya berlimpah, mereka rela memakan uang yang bukan haknya dengan korupsi. Menjadi mengherankan juga munculnya masyarakat modern lowwer-middel class tidak puas ketika bisa membeli pakaian, makanan, sandal, sepatu, kaos kaki, make up dan lain sebagainya yang murah dan sudah berfungsi sebagaimana fungsi barang yang diinginkan. Mereka cenderung ingin membeli barang yang berlabel, bermerek, bernilai gengsi tinggi. Mereka juga rela berhutang demi mendapatkan barang branded, bermerek, dan bernilai gengsi tinggi hanya untuk memenuhi nafsu gengsi belaka. Padahal ada sebuah kalimat yang menyatakan, “gunakan barang berdasarkan fungsinnya, bukan berdasarkan gengsi yang tinggi”.

Fenomena di atas menjadi sebuah realitas yang ada pada masyarakat modern yang jauh dari nilai spiritualitas kepada Tuhan. Realitas dan karakter yang tertanam pada masyarakat modern jauh dari falsafah Jawa nerimo ing pandum. Alternatif dalam menanamkan falsafah nerimo ing pandum selain dari kesadaran diri sendiri, kekuatan Iman dan spiritualitas adalah hidup sederhana sesuai porsi dan fungsinya, selain itu harus menyadari bahwa manusia pasti mati dan semua hartanya akan ditinggalkan. Ada sebuah kalimat yang mengatakan bahwa “hidup di dunia hanya transit sebentar untuk minum”. Tuhan juga berfirman, “al maalu walbaniina ziinatal hayaataddunya, wal baqiyatu sholihatu khoirun ‘inda robbika tsawaban wa khoirun ‘amala”, kekayaan dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amal soleh yang kekal adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu dan lebih baik sebagai harapan.

Dengan berbagai alternatif pemahaman di atas maka jiwa spiritualitas sebagaimana falsafah Jawa nerimo ing pandum akan tertanam pada masyarakat modern. Dalam Islam, bersyukur kepada Tuhan bagaimanapun keadaannya, senang atau sedih, merupakan suatu hal yang harus ditanamkan sebagai wujud keimanan kepada qadha dan qadar. Kebudayaan yang baik akan tetap menjadi sebuah kebaikan dan akan menciptakan kestabilan dalam kehidupan bermasyarakat. Mari bersama lestarikan falsafah yang menjadi sebuah identitas budaya Jawa yakni, nerimo ing pandum.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline