Lihat ke Halaman Asli

ranny m

maroon lover

Kenapa Makin Macet

Diperbarui: 23 September 2022   15:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Otomotif. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Hai kompasianers, ngerasa nggak kalau akhir-akhir ini Ibukota tampak makin macet? Contohnya untuk penulis saja, sebelum pandemi Covid-19 waktu tempuh ke kantor sekitar satu setengah jam. Untuk diketahui, jarak rumah dan kantor kurang lebih 30 km. Rumah daerah Depok, kantor daerah Jakarta Selatan. Rute melewati tiga provinsi yakni Jawa Barat (Bojongsari), Banten (Pondok Cabe) dan DKI tentunya. Sementara sudah sebulan ini waktu tempuh minimal dua jam. Apakah pembaca merasakan hal yang sama? Waktu tempuh kantor yang semakin panjang? Jalanan yang semakin sesak dengan kendaraan?

Bukankah jumlah pekerja sebelum dan setelah pandemi tidak terlalu berbeda kan? Tapi kenapa jalanan makin macet? Harusnya balik lagi seperti sebelum pandemi dong! Apalagi dengan semakin baiknya transportasi publik di DKI, harusnya makin banyak yang menggunakannya sehingga jumlah kendaraan pribadi menurun dong! Tapi malah sebaliknya, semakin padat!

Penulis mencoba mengambil satu praduga mengapa hal ini bisa terjadi, yakni penjualan rumah di daerah penyangga ibukota. Saat pandemi Covid-19 mulai menyerang Indonesia di awal 2020, hampir seluruh perusahaan menerapkan kebijakan WFH (work from home). Hal ini mengakibatkan para pekerja mulai mengambil kesempatan untuk membeli tempat tinggal yang nyaman untuk WFH. Jika sebelumnya mereka memilih sewa kosan atau apartement, kali ini mereka mulai melirik rumah tinggal. Rumah yang nyaman meski berada di pinggir kota dan jauh dari kantor jadi tak masalah karena toh bekerjanya dari rumah. Sehingga ketika kebijakan WFO (work from office) kembali digalakkan, para pekerja ini mulai berhamburan keluar dari pinggir-pinggir kota dan menyumbang kepadatan jalan raya.

Opsi transportasi publik yang sudah cukup banyak di DKI nyatanya belum menjangkau daerah pinggir kota ini. Seperti MRT yang hanya sampai Lebak Bulus atau LRT yang bahkan belum beroperasi optimal. Pada akhirnya para pekerja tidak punya pilihan selain kembali menyalakan kendaraan pribadinya. 

Bagaimana dengan opsi kembali sewa kosan atau apartement dekat kantor? Bisa saja. Bahkan rekan kerja penulis pun mempertimbangkan opsi ini. Jika ditilik hanya dari biaya transportasi, opsi sewa kosan akan lebih murah daripada biaya bensin dan tol per bulannya. Namun biaya lainnya yang dikeluarkan akan meningkat karena membiayai dua kaki. Maksudnya, pengeluaran untuk sewa dan cicilan KPR misalnya. 

Ada solusi?

Pada akhirnya penulis secara pribadi mengharapkan para pimpinan mempertimbangkan kebijakan WFH kembali. Bahkan beberapa instansi atau perusahaan menerapkan WFA (work from anywhere). Bekerja tidak hanya di kantor, bisa di rumah, bisa di jalan, bisa di working space atau dimanapun. Toh rapat sekarang bisa melalui zoom. Tanda tangan sekarang bisa menggunakan qr code. Namun jika memang dibutuhkan tatap muka, pekerja diharuskan siap sedia untuk hadir ke kantor. Dari sisi instansi atau perusahaan juga harusnya lebih efektif dengan WFA. Misalnya menekan biaya sewa gedung, juga tagihan listrik dan internet. 

Dari sisi transportasi penunjang Ibukota juga diharapkan semakin bersinergi. Jaklingko diadopsi oleh daerah penyangga seperti Bekasi, Depok dan Tangerang sehingga lebih memudahkan pekerja. MRT segera diperpanjang. LRT segera dioperasikan. Tol-tol segera terhubung. Butuh waktu memang. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline