Lihat ke Halaman Asli

ranny m

maroon lover

Bias

Diperbarui: 29 Januari 2016   15:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bukan pertama kali ini aku merasakan hal seperti. Sudah pernah. Bahkan bukan hanya sekali. Dulu saat sekolah, aku dan sahabatku menyukai orang yang sama. Tiga tahun yang lalu juga demikian. Bahkan rumor yang beredar menyebutku menjadi pihak ketiga atas kandasnya hubungan sahabatku dan kekasihnya. Padahal aku justru lebih dulu kenal dengan si pria daripada dengan sahabatku itu. Dan singkat cerita pada akhirnya si pria memilih wanita lain di luar aku atau pun sahabatku. Mungkin terkesan adil bagiku dan sahabatku. Tapi di sisi lain, justru itu egois.

Sewaktu aku kuliah dulu. Ada seorang lelaki yang aku suka. Meskipun hanya kusimpan di hati tapi seluruh teman perempuanku tahu. Bahkan secara tak langsung aku berikrar tidak akan rela jika lelaki itu akhirnya menikah dengan salah satu teman perempuanku. Lalu fakta yang terjadi? Benar saja lelaki itu menikah. Dengan seorang gadis yang bahkan tak kutahu namanya sebab aku tak diundang. Ahhh miris sekali.

Dan entah mengapa kali ini aku siap. Siap mengenyahkan keegoisanku. Siap jika pada akhirnya pria ini memilih sahabatku. Sempat aku bingung dengan skenario ini. Aku yang terlanjur menjatuhkan hati sejak pertama melihatnya. Aku yang tak mengerti arah pikiran dan hati sahabatku. Si gadis Sumatera yang sebenarnya jalan pikirannya mirip denganku karena aku pun berasal dari pulau yang sama. Sama-sama si ahli berpura-pura. Si ahli berkata A meski di otak meneriakkan B dan hati menggumamkan C. Apakah semua gadis Sumatera begitu? Ah kurasa tidak juga. Tapi demikian yang kutemui ketika kumulai belajar membaca gerak-geriknya.

 

***

“Lo jangan gitu dong.”
“Gitu gimana?”
“Lo jangan to the point nolak gitu dong. Kasian tau! Dia kemaren baru ditolak sama Rein.”
“Hah?”
“Ya nggak secara langsung sih. Ya intinya gitu.”
“Terus gue harus gimana?”
“Ya lo jangan gitu dong. Apa coba kurangnya dia sampe lo magerin diri kenceng-kenceng gitu?”
“Eh....”
“Udahlah. Kasian tau!”
“Jadi?”
“Ya lo jangan gitu lah.”

Sumpah! Ini dialog yang kurang jelas endingnya. Aku dilarang memagari diri sendiri dari serangan gurauan teman-teman diklat ini. Ah selalu! Bukan selalu! Hanya sebuah budaya saja. Bahkan pun tak dapat disebut budaya juga. Yah intinya, sebagian besar diklat selalu melahirkan pasangan. Yang sayangnya, ketika diklat ini telah berakhir, ternyata di antara kami belum ada juga pasangan yang jadi.

 

***
Terimakasih teman-teman diklat yang telah menyimak sinetron kami dengan antusiasme tingkat khayangan. Awalnya memang ini skenario. Oh bukan. Kami bertiga tidak pernah membuat atau bahkan berdiskusi tentang skenario ini. Aku pun tak tahu mengapa si aktor ini menarikku dan sahabatku untuk ikutan skuel Surga Yang Tak Dirindukan 2 ini.

Namanya Mas Hanif. Mas karena di Jawa. Sahabatku, Mia. Si gadis Sumatera, kusebutnya demikian. Aku? Ya aku juga gadis Sumatera. Aku Alya.

Bermula dari kukira benar bahwa Mas Hanif menyukai Rein. Temanku yang lain. Mana kutahu jika Rein sedang pendekatan dengan Farid. Singkat cerita aku senang menyindir Mas Hanif terkait Rein. Hingga satu hari ia mengatakan bahwa ia telah berpaling dari Rein dan memiliki target baru. Wow! Aku yang memang suka gosip langsung kepo setengah mati. Dan gagal! Nama yang ia sebut adalah namaku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline