Lihat ke Halaman Asli

Anak Muda di Antara Partai Terpuruk

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anak muda saat ini terlalu “cengeng” membicarakan tentang partai, baginya partai sudah “ternodai” yang tak mungkin dibersihkan lagi. Kalau pun tidak, mereka terlalu dini berbicara partai karena tidak mempunyai bekal diri berupa pengetahuan politik. Entah siapa yang harus dipersalahkanatas gagalnya kaderisasi anak muda Indonesia. Sudah sepatutnya sebagai generasi penerus bangsamerekadibimbing terutama oleh generasi tua. Terlebih lagi, generasi muda perkotaan yang byang harus diutamakan melek politik. Menurut data KPU jumlah pemilih muda usia 17-30 sebanyak 59.6 juta, angka yang cukup besar untuk menentukan masa depan.

Dalam konteks generasi muda masyarakat Indonesia, bila membicarakan ideologi partai rasanya semakin “kabur” tidak jelas. Hal ini terlihat seperti loncatnya tokoh partai dari satu partai ke partai yang lain hingga kinimasih terjadi. Masyarakat Indonesia sangatlah beragam dan unik sehingga berimbas pada ideologi partai.

Langkah awal untuk memahami ideologi partai bagi anak muda adalah dapat melihat platform dan azas partai yaitu, Nasionalis atau Agamis. Saat ini, barangkali karena Orde Baru kita bisa membedakan bahwa partai hijau dan putih adalah agamis sedangkan merah dan kuning – juga biru –  adalah nasionalis.

Bila kita tanya pada diri sendiri, apa sebenarnyayang membedakan antara partai merah yang saya artikan sebagai partai nasionalis dengan partai hijau yang saya artikan partai agamis, pasti susah menjawabnya. Di antara kita masih banyak yang belum tahu tentang penggolongan partai mana partai merah dan partai hijau. Dalam partai merah ini banyak versi yang bukan hanya PDIP saja tapi, banyak pula yang mengidentitaskan diri nasional  seperti partai Demokrat, Golkar, PKB, Nasdem, Hanura, Gerindra, PAN dan lain-lain. Kita pasti bingung apa yang membedakan partai-partai tersebut karena sama-sama mengatasnamakan nasionalis.

Gampangnya, PDIP itu mempunyai ciri nasionalis yang lahir dari masyarakat kelas bawah (marheins). Adapun Demokrat itu partai nasionalis yang lahir dari masyarakat atas, sedangkan Golkar itu dari frase golongan karya sebagai kelas pekerja/buruh lebih atas dari kelas marheins. Sedangkan PKB menamakan dirinya nasionalis yang berbau agama yang menerima anggota lintas agama. Nasdem, Hanura dan Gerindra itu bila ditelusuri akar kelahiranya dari Golkar yang dikendalika para jendral militer. Berbeda dengan Demokrat yang mempunyai akar sejarah kelahiran bukan murni dari Indonesia. Partai Demokrat terbilang baru meskipun SBY lahir dari militer namun pemasukan besar dana Demokrat, pada awalnya oleh lembaga luar (FOX Media), kemudian menjalin hubungan dengan negara lain sepeerti ‘sic’ dari negara Jepang.

Akhir-akhir ini diperhatikan partai merah (nasionalis) telah ‘tumbuh besar’ dibandingkan partai hijau (agamis) yang tak berkembang sehingga terlihat jomplang. Lebih jomplang lagi, sesama partai nasionalis PDIP lah yang paling disorot publik media, dan dalam PDIP itu sendiri hanya tersorot pada sesosok Jokowi. Itu dibuktikan setelah pendeklarasian Jokowi harga saham naik melejit tinggi. Apakah ini semua terjadi secara alamiah sehingga sah-sah saja, tentu, bila dikritisi lebih jauh pasti ada yang salah. Dalam filsafat semua itu harus ada keseimbangan sebagai titik kebenaran agar tidak ada penguasaan sentral oleh satu titik. Filsafat Islam terutama orang yang memahami kebeneran seperti agama Islam yang menempati posisi sebagai makhluk itu harus plural, otoritas tunggal hanya milik Tuhan. Dalam dunia perekonomian pun tidak boleh dimonopoli oleh satu perusahaan.

Klasifikasi partai Hijau di Indonesia saat ini hanya ada dua partai PPP dan PKS yang mengatasnamakan dirinya sebagai Islam. PPP dengan warna hijaunya yang mempunyai masa ke-‘emas’-an peringkat tiga besar pada era Orba. Sedangkan PKS dengan warna putihnya cukup mendapat dukungan besar karena gagasan khilafahnya untuk menarik orang-orang Islam yang awam terhadap agama. Sehingga bila ditelusuri partai ini sangat membahayakan karena akan menggantikan sistem pemerintahan negara Indonesia yang sudah disepakati dari tahun 1945.  PPP sendiri masih sangat murni berbau Islam tradisionalis-murni, dibandingkan dengan PKB yang sudah tercampuri oleh kebebasan humanis (liberal). PKB sendiri awal pendiriannya hanya bergantung pada sosok Gus Dur yang ‘juga’ berketurunan Kiai tradisionalis murni KH. Hasyim Asy’ari.

Era Gus Dur ini begitu terbuka dan bebas karena selama 30 tahun karena berusaha memberontak ketertutupan rezim Soeharto. Jadi, pemerintahan Gus Dur sah dan dibenarkan dalam kajian kitab kuning yang diterangkan menjadi rujukan Islam tradisionalis. Berkat pemikiran Gus Dur era keterbukaan informasi harus dibendung untuk mengimbangi tatanan kehidupan bermasyarakat juga kehidupan berpolitik. Hal ini diterangkan dalam kitab kuning untuk memfilter kebebasan yang berlebihan dari orang yang membenci Islam, sehingga membawa kehancuran umat manusia terutama umat Islam. Bagaimana pun juga, terlalu tertutup seperti PKS dengan khilafahnya itu membahayakan dan terlalu terbuka seperti PKB juga membahayakan.

Dari sekian pemaparan diatas kita bisa menilai mana sistem partai yang masih murni, terlepas dari anggota partai itu baik atau jelek. Seperti ungkapan Yusuf Islam yang beruntung masuk Islam karena lebih dulu mengetahui ajaran Islam daripada perilaku umat Islam itu sendiri. Sebagai umat Islam terbesar di Indonesia setidaknya kita berhak memilih mana yang masih terjaga ideologinya. Agar bisa dipertanggung jawabkan bila berideologi yang tidak oportunis, seperti partai lain. Apabila melihat sejarah PPP yang juga dilahirkan oleh Kiai Besar tradisionalis KH. Mustofa Bisri (sahabat KH. Hasyim Asy’ari) dengan menaruh lambang ka’bah untuk selalu ingat akan esensi ajaran agama. Jadi terlihat jelas bahwa partai ini didirikan bukan dari orang biasa.

Kita sebagai generasi muda baik yang awam terhadap agama (apapun agamanya) maupun yang paham agama bergelar santri pun harus melek politik. Sebagai generasi muda jangan hanya melek media yang terlalu menikamati kecanggihan teknologi tapi juga melek terhadap pondasi ideologi negara. Bukan berarti generasi muda dilarang senang-senang, karena generasi muda sejatinya sebagai generasi penerus yang harus pintar. Bagaimanapun juga musuh tetaplah ada hingga saat ini yang sedang menyamar, entah sebagai sahabat, teman maupun saudara kandung kita. Menurut Letjend Pangkostrad Gatot Nurmantyo, bahwa Indonesia mengalami proxy war atau assymatric warfare, perang yang terjadi secara soft. Bukti salah satu dari perang ini adalah kita tidak menyadari perbedaan batasan setiap partai-partai Indonesia.

meskipun banyak perdebatan mengenai istilah Filsafat Islam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline