Dek depan kapal pesiar jadi gaduh karena ulah seorang pemuda. Orang-orang berhambur dan meminta agar pemuda itu tak meloncat. Pemuda itu mengacungkan tangan dengan mata mendelik. “Jangan mendekat, atau saya akan meloncat!”
Debur ombak berkali-kali menampar tubuh kapal. Desau angin berseliweran membelai-belai.
“Kita bicarakan baik-baik saja, anak muda!” Kata seorang tua.
“Ya, itu lebih bijak!” Penumpang lain menimpali.
“Lagi pula air laut itu dingin!” Seluruh tatapan berganti jatuh pada sumber suara itu. Seorang lelaki dekil. Berbusana seperti akademisi. Senyumnya tersungging.
Dan lelaki yang akan melompat itu merasa kecurian perhatian. Ia kemudian berteriak. “Aku tak percaya!”
“Tahu dari mana kau? Semua tahu air laut itu dingin dan tubuhmu terlalu ringkih untuk melawan dinginnya. Tubuhmu akan terasa seperti ditusuk hingga ke sumsum.”
“Cuih, diam kau lelaki dekil! Aku lebih percaya bule sarjana ekonomi itu.” Katanya membalas.
Orang melihat ke arah bule itu. Bule yang memperkenalkan diri sebagai Fironsen itu tersenyum. Ia membenarkan kata-kata pemuda yang akan meloncat itu. Bahwa sebelum akhirnya pemuda itu memutuskan meloncat, ia sempat ditanyai perihal air laut. Fironsen membantah bahwa air laut itu dingin.
“Guoblok! Sarjana ekonomi kau tanyai laut. Tau apa dia? Yang realistis jadi orang!” Kata seorang tua yang tadi memintanya untuk berbicara baik-baik. Kini nadanya malah meninggi. “Mulailah berpikir untuk menyelasaikan masalah dengan benar. Mari kita selesaikan perkara ini. Jangan meloncat!” Katanya lagi sambil mendekat mengulurkan tangan.
“Jangan mendekat atau aku akan meloncat!”