Dipercaya atau tidak, bagi murid ujian nasional merupakan monster yang paling mereka takuti. Rasa takut akan ujian nasional bahkan melebihi rasa takut mereka terhadap Tuhan. Sebab, menurut mereka takdir dan jalan hidup mereka ke depan ditentukan oleh ujian nasional. Sehingga banyak siswa menempuh segala cara demi lulus dari hadangan monster ujian nasional.
Usaha mereka bermacam-macam. Ada yang melakukan kegiatan belajar bersama, latihan soal-soal, sampai yang paling ekstrem menyontek saat ujian dan mencari-cari info bocoran soal ujian. Konon, harga bocoran soal ujian mencapai sepuluh jutaan. Jelas bukan solusi tepat bagi siswa yang kurang mampu. Sehingga banyak kunci jawaban bertebaran melalui sms, entah datangnya darimana. Kadang-kadang masih ada saja siswa yang mengikuti kunci jawaban tersebut tanpa perlu mengeceknya.
Tujuan dari ujian nasional lama-lama menjadi bias. Penerapan standar kelulusan nilai (sekarang disertakan nilai rapor) dijadikan sasaran kritik para pemerhati pendidikan. Nilai yang tertera seakan mewakili kualitas siswa yang sudah berjuang selama tiga tahun lamanya. Tak perduli apakah moral, rasa kebangsaan, nilai-nilai budi mereka bagus atau tidak. Yang penting mereka lulus ujian dan kalau perlu dengan nilai yang membanggakan. Ini pula yang akhirnya membebani pihak sekolah, orang tua murid, dan tentu siswanya sendiri.
Maka jangan heran jika banyak diantara siswa yang tiap harinya rajin, nilai-nilai kesehariannya bagus, sopan terhadap guru, tidak pernah berbuat onar di sekolah, justru tidak lulus ujian. Faktor mental yang sudah terbebani dinilai menjadi penyebab utamanya. Sementara mereka yang sering mendapat "kasus" di sekolah, suka membolos, nilai rapor di bawah rata-rata, dengan sedikit "keberuntungan" dapat lulus dengan mudah. Inikah hasil yang ingin dicapai dari pendidikan sekolah ?
Efeknya pun jadi fatal. Banyak keluaran produk pendidikan yang brilian otaknya namun cacat moralnya. Produk yang terpelajar tapi tidak terdidik. Mereka menyebar ke seluruh seluk beluk kehidupan negara. Ada yang berprofesi sebagai polisi, hakim, pegawai pajak, akuntan publik, wartawan, guru, dokter, wakil rakyat, menteri, atau bahkan mungkin saja jadi kepala negara. Tanpa merendahkan profesi-profesi tersebut, mereka inilah yang justru menghancurkan sendi-sendi kehidupan bernegara.
Kalau sudah begini tinggal tunggu saja kehancuran bangsa ini. Selama menunggu masa kehancuran itu datang, mari kita berdoa agar pemangku kuasa pendidikan di negeri ini segera tersadar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H