Sudah lebih dari sepuluh tahun Indonesia menjalani masa transisi. Cengkraman Orde Baru selama lebih kurang 32 tahun berhasil dilepaskan. Seiring dengan runtuhnya dinasti Orde Baru, kini muncul era baru yang bernama reformasi. Lengsernya (alm) Soeharto dari kursi kekuasaan menjadi kulminasi pergerakan reformasi kala itu.
Lima agenda reformasi ketika itu ialah: amandemen UUD 1945, pencabutan Dwi Fungsi ABRI, pelaksanaan Otonomi Daerah, penegakan supremasi hukum, dan perwujudan clean and good government. Selama ini, berhasilkah kita melaksanakan semua agenda tersebut?
Tampaknya dua poin terakhir masih menjadi pekerjaan rumah terbesar bagi pemerintah. Masih merajalelanya korupsi di berbagai sektor menjadi salah satu indikator belum terwujudnya agenda tersebut. Dahulu, praktek korupsi tumbuh subur seiring dengan kampanye pembangunan nasional. Berbagai tender pemerintah dikuasai oleh sekelompok orang tertentu yang memiliki afiliasi dengan kekuasaan. Sangat sentralistik.
Sekarang seiring dengan dibukanya keran reformasi, semakin banyak pula keran-keran korupsi baru yang terbuka. Korupsi seakan menjadi ekses negatif dari semakin baiknya iklim demokrasi kita. Celakanya, kehadiran partai politik —yang notabene salah satu penggerak demokrasi— dituding menjadi rumah bagi tersemainya "benalu sosial" ini. Maka, jejaring korupsi semakin mudah merangsek ke berbagai jajaran pemerintahan. Baik itu di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Mengapa parpol begitu rentan terhadap praktek korupsi? Salah satu alasan yang paling rasional adalah mahalnya ongkos politik sementara sumber dana parpol terbatas. Inilah yang menjadi peluang bagi terjadinya korupsi. Dengan begitu, asumsinya adalah para kader parpol berupaya sekuat tenaga untuk membantu mencari dana bagi keberlangsungan hidup sebuah partai. Bagaimanapun caranya.
Semakin banyaknya anggota DPR serta gubernur dan bupati yang tersangkut korupsi seakan memperkuat asumsi tersebut. Sudah menjadi rahasia umum, jika ingin menjadi anggota dewan atau terpilih sebagai seorang bupati ataupun gubernur, perlu ongkos yang tidak sedikit. Untuk mengganti ongkos politik yang begitu mahalnya ini, para kader terpilih mencari solusi yang cepat untuk mendapatkan uang yang banyak. Korupsilah pilihannya.
Kalau tidak segera dicarikan solusi permasalahannya, jangan menyesal jika Indonesia perlu waktu yang lebih lama lagi untuk segera mengakhiri masa transisinya. Simpul lingkaran setan ini —mungkin— bisa diputus oleh kepemimpinan yang kuat. Pemimpin yang menjadi panglima tertinggi dalam memerangi korupsi. Pemimpin yang berani mendobrak sekat-sekat yang selama ini tabu untuk disentuh.
Jadi, adakah parpol yang bersih itu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H