Lihat ke Halaman Asli

nasri kurnialoh

Dosen STAI Haji Agus Salim Cikarang

Logika Tapera

Diperbarui: 3 Juni 2024   17:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ada dua logika untuk Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Logika berbanding lurus dan logika terbalik. Logika yang harus memahami bahwa Tapera sebuah kebijakan yang mesti dilakukan pemerintah melaui Perpresnya atau justru logika yang sesat sehingga ini bukan ke"bijak"an tapi ke"dholim"an. Tapera adalah potongan sebesar 3% untuk membantu masyarakat yang belum punya rumah. Pemerintah yang punya otoritas mandat dari rakyat berhak "memaksa" agar rakyatnya agar rela menabung paksa demi kesejahteraan rakyatnya. Lalu bagaimana logikanya?

Logika lurusnya memang ini implementasi dari sosialisme negara, bukan komunisme, ya! Pemerintah dengan wewenangnya memaksa rakyat bergotong royong untuk saling "simeuh". Yang kaya mesti membantu yang miskin, yang kuat menolong yang lemah. Negara sebagai pengelolanya menjadi eksekutor pengumpul dan pembuat program. Sandang, pangan dan papan adalah kebutuhan dasar rakyat yang mestinya harus dipenuhi negara. Masalahnya, penyelenggara negara tidak punya uang kecuali eksplorasi sumberdaya dan pajak. Sudah begitu, banyak jenis pajak bagi rakyat: PPh, PPn, Kendaraan, Bumi Bangunan dan lainnya yang tentu sering jadi momok masyarakat.

Agar pajak ini tak terlihat pajak dan memaksa, keluarlah "pajak" gaya baru bernama asuransi. Mereka berkilah, asuransi kan kembali pada pembayarnya, bukan untuk negara. Lho, pajak-pajak juga kembali pada rakyat kok. Jadi asuransi atau pajak, mirip-mirip saja. UU jaminan pengaman sosial yang melahirkan BPJS kesehatan, BPJS ketenagakerjaan, Jaminan Hari Tua (JHT), jaminan pensiun, Jaminan Keselamatan Kerja (JKK), Jaminan kematian (JKM) adalah validasi bahwa negara berhak memungut sejumlah dana dari masyarakat. Alasannya atas nama gotong royong. Jika ini benar digunakan, tentu jalan raya bagus, sekolah gratis, berobat gratis, tak ada biaya ambulan, semua pekerja punya pensiunan, kecelakaan ditanggung negara, yang nganggur digaji negara. Faktanya?

Kini negara punya inovasi baru lagi. Memotong 3% untuk gaji di atas penghasilan tidak kena pajak (4.5 juta). Bagi mereka, baik ASN, Karyawan, TNI/Polri, Wirausahawan  berpenghasilan 5 juta ke atas, mereka mesti membayar potongan-potongan kebijaksanaan negara berupa PPh antar 5-35%, JHT 5.7%, JKK 0.25%, JKM 0.3%, BPJS Kesehatan 5%, BPJS Ketenagakerjaan 3%, dan terakhir Tapera 3%. Mekanisme pembayarannya dibebankan pada dua pihak: pekerja dan pemberi kerja (perusahaan). Artinya, begitu banyak jenis potongan yang diambil pemerintah. Mungkin negara tak punya cukup modal untuk membangun, sehingga atas nama gotong royong mereka harus melakukan jatprem pada rakyatnya.

Sebenarnya, jika pengelolanya bener, tidak korupsi, amanah, bertanggung jawab, benar-benar ingin mensejahterakan rakyat, 50% potongan pun tak apa. Asal pemerintah menjamin pekerjaan yang mudah, harga yang stabil, inflasi yang terjaga, aman, fasilitas umum memadai, kendaraan publik tercukupi, hidup mudah dan tidak susah. Jika saja itu semua belum terpenuhi, harusnya pemerintah menjelaskan terlebih dahulu grand desain pembangunan seperti apa, roadmapnya bagaimana, uang yang ada sudah berapa, kurangnya berapa, investasi sudah bagaimana, apa yang mesti disumbang rakyat, biar rakyat tahu kesusahan negara. Jangan sampai rakyat ujug-ujug dibebani potongan padahal di tivi, prilaku hedon pejabat dan korupsi penyelenggara negara begitu terngiang di telinga rakyat. Ah, jadi lieur!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline