"Pemain" adalah kata yang biasa untuk Pekan Olahraga (POR) dan bernada sinis untuk peserta Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ). Sinis karena peserta MTQ jika dipanggil "pemain" maka ada dimensi lain yang diterjemahkan negatif. Pemain adalah sebagai istilah yang mengacu pada kepesertaan lomba yang memiliki kompetensi dalam satu cabang, baik cabang Quran maupun olahraga. Pemain pun kadang dipasang atau ditandingkan oleh pelatih atau owner untuk menjadi juara. Maka, untuk menjadi pemenang, tak jarang pemain dibeli, dibajak, diculik dan diiming-imingi agar mau bermain untuk mewakili daerah lain, walau dirinya bukan bagian dari daerah itu.
Di sinilah daya tawar pemain jadi naik. Semacam ada nilai transfer sebelum lomba dilaksanakan dan semacam lahir perebutan pemain. Mereka sekuat tenaga merekrut yang terbaik agar bisa menjadi juara. Pun pemain yang gagal di satu daerah maka bisa bermain lagi untuk daerah lain. Ajang lomba adalah ajang di mana para pemain ini bisa memanfaatkan kebutuhan daerah untuk jadi pemenang. Ada sejumlah keuntungan beragam seorang pemain jika mewakili daerah lain. Alasannya memang setiap daerah akan jadi bangga dan seolah sukses jika memenangkan pertandingan dengan daerah lain walaupun pemainnya bukan produk dirinya.
Di sinilah ada ambigu atas terselenggaranya MTQ atau POR. Mereka hadir karena tujuan evaluasi untuk melihat daerah mana yang olah raga atau Qurannya tidak maju (kalah saing). Saat tahu bahwa daerah tertentu yang kalah dan daerah mana yang juara maka fokus pemerintah akan menggulirkan dana untuk peningkatan pemerataan kualitas. Nah di sinilah evaluasi itu harus berjalan normal dan tidak ada bajak membajak pemain, toh evaluasi ini menguntungkan. Yang kalah akan dibantu untuk pengembangan kapasitas, yang menang bertanggung jawab membantu daerah yang kalah. Bukan untuk menang-menangan. Itu idealnya.
Faktanya, jika semua ingin menang dengan cara yang tidak fair, maka POR maupun MTQ adalah ajang adu gengsi saja. Gengsi bagi kepala daerah juga gengsi pengurus induk organisasinya. Ini tidak sesuai dengan semangat perlombaan itu sendiri, apalagi jika caranya penuh dengan hipokrit semata. Adagium ini mungkin cocok dengan masalah ini: "Kebaikan akan menjadi buruk jika diraih dengan cara yang tidak baik". Dari sini, Pemain harus mengerem diri bahwa hakikat mereka ada adalah sebagai alat ukur keberhasilan pola pendidikan dan pengkaderan sebuah daerah bukan prestasi personal yang kadang diklaim hasil dirinya. Walaupun itu tak salah mutlak, karena jika induk organisasinya tidak melakukan kaderisasi dan pendidikan itu, ya wajar saja jika mereka memilih ke lain hati. Realistis, lah!