Lihat ke Halaman Asli

ICT: Solusi Produktivitas Penyandang Disabilitas

Diperbarui: 20 Juni 2015   04:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

140246832173976104

Percaya atau tidak, sebagian besar masyarakat Indonesia , bahkan para petinggi dan pejabat pemerintahan, masih melihat penyandang disabilitas sebagai orang yang tidak bisa apa-apa. Jangankan produktif, keluar rumah saja sulit. Jangankan memanfaatkan teknologi, kenal juga nggak. Benarkah begitu?

Salah besar! Jawaban itu saya dapat dari acara talkshow "ICT for Disabled", Sabtu (7/6) di gedung Indosat. Bahkan Ibu Dewi Motik Pramono, ketua KOWANI dalam sambutannya di acara ini berani mengatakan bahwa beberapa penyandang disabilitas yang punya keterbatasan, justru lebih mampu memanfaatkan ICT/TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi. “Di saat masyarakat Indonesia lebih banyak memakai teknologi untuk galau dan narsis, ada orang-orang hebat yang bisa kita contoh. Mereka adalah orang-orang yang ada di panggung ini. Mari kita beri tepuk tangan kepada mereka!"

Siapa sajakah mereka?

[caption id="attachment_328489" align="aligncenter" width="300" caption="Para narasumber beserta interpreter, Mbak Sonya (berdiri)"][/caption]

Yang pertama adalah Prof Irwanto, guru besar Unika Atma Jaya yang aktif di Puska Disabilitas UI. Sebagai pembicara pertama, beliau menjembatani pemahaman tentang disabilitas dan hubungannya dengan TIK, “Selama ini, penyandang disabilitas tidak diberi kesempatan untuk mendefinisikan dirinya; definisi mereka lebih ditentukan oleh orang sekitarnya, sehingga muncullah kata cacat, idiot, yang lebih fokus ke disabilitas seseorang. Padahal ketika difasilitasi, disabilitas itu tidak menjadi hambatan lagi. Contohnya, ketika orang yang punya low vision diberi kacamata, hilanglah disabilitasnya, bahkan Stephen Hawking yang tidak bisa bicara bisa menjadi professor tertinggi di Oxford University karena dia difasilitasi teknologi yang memungkinkan dia berbagi hasil pemikirannya yang jenius.”

“Artinya, mari kita lebih fokus ke abilitas mereka, dan fasilitasi kemampuan mereka tersebut. Bukan sebaliknya, menjadikan ketidakmampuan mereka sebagai penghalang untuk memberikan mereka akses pendidikan, pekerjaan dan lain-lainnya.”

Dimas Prasetyo, blogger yang jadi co-founder Karya Tunanetra (Kartunet) dan Habibie Afsyah (Indonesia Disabled Care Community--IDCC) memberi contoh nyata bagaimana teknologi membantu mereka menjadi manusia produktif. Dimas misalnya, dia menggunakan software-software screen reader di HP dan laptopnya sehingga dia bisa menikmati informasi-informasi terkini dan juga menulis. Bahkan saya yakin, sebagian besar dari kita masih kalah dari Dimas dalam frekuensi menulis, hehe.

Habibie, berbagi cerita kalau teknologi memungkinkan dirinya untuk mengatasi berbagai kendala dalam bekerja, “Kalau penyandang disabilitas ingin kerja kan kendalanya banyak, seperti mobilitas, kemacetan (berat di ongkos), dan perangkat2 kerja yang belum disesuaikan dengan kemampuan pendis. Jadi pada akhirnya, banyak yang memilih pekerjaan alternatif, yang tidak membutuhkan banyak mobilitas, bisa dilakukan di rumah, tapi tetap menghasilkan uang, seperti saya yang memilih internet marketing.”

Sama halnya dengan Chairunnisa, gadis penyandang tunarungu yang juga menjadi pengurus yayasan Sehat Jiwa Raga (Sehjira). “Menjadi tuli bukan berarti saya nggak bisa komunikasi. Saya sering video call sama sesama tuli, kadang kita pake bahasa isyarat, kadang juga pake tulisan. Banyak kok teknologi yang bisa membantu tuli untuk hidup mandiri, sms/whatsapp, eletypewriter, atau alarm/bel yang dihubungkan dengan getaran pada perangkat pasangannya, jadi kita bisa tahu kalau ada yang ketok rumah."

Narasumber lainnya, Tante Christie Damayanti, menceritakan kisahnya ketika diuji sakit stroke, “Saya cuma memberi waktu 10 menitan bagi diri saya untuk bersedih. Selebihnya saya berpikir, saya harus menemukan cara biar bisa tetap produktif. Ternyata teknologi juga bisa membantu saya, bahkan sebagai terapi untuk sembuh dari stroke. Saya coba terapi menulis dan berkat teknologi, saya jadi lebih mudah membagi tulisan saya. Dari situ, saya jadi kenal dengan banyak orang, dan puji Tuhan, menginspirasi teman-teman lainnya.”

[caption id="attachment_327965" align="aligncenter" width="300" caption="Antusiasme peserta"]

1402210485797603815

[/caption]

Acara yang digagas oleh IDKITA dan KOWANI, bekerja sama dengan IDCC, Kartunet, dan Sehijra itu dihadiri oleh seratus lebih pengusaha, staf Indosat, staf GNOTA, blogger serta mahasiswa dan pelajar. Bahkan ada peserta yang datang dari Semarang dan Bali. Dibuka dengan penampilan akustik dari teman-teman tunanetra anggota Kartunet, acara ini dikemas dengan seminar interaktif. Antusiasme peserta pun terlihat sepanjang  acara berlangsung, bahkan saat sesi tanya jawab moderator sampai harus membatasi jumlah penanya.

Sebagai penutup talkshow, Om Valentino sebagai moderator menyampaikan dengan tegas, “Teknologi bisa membantu penyandang disabilitas untuk maju dan berkembang. Tapi kemajuan dan harapan-harapan itu hanya bisa tercapai jika lembaga-lembaga dan komunitas disabilitas mau bersatu padu, berkolaborasi, seperti dalam acara ini. Bukannya bekerja masing-masing dan saling bersaing." Setuju, Om! :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline