Lihat ke Halaman Asli

M. Zulficar Mochtar

Direktur Ocean Solutions Indonesia (OSI).

Mengapa Nelayan (Masih) Susah?

Diperbarui: 8 Desember 2022   18:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia adalah negara produsen ikan terbesar dunia, dengan lebih 96% nelayannya skala kecil, namun tingkat kesejahteraannya relatif terbatas (KOMPAS/GREGORIUS MAGNUS FINESSO)

United Nations General Assembly (UNGA) telah mendeklarasikan tahun 2022 sebagai International Year of Artisanal Fisheries and Aquaculture (IYAFA). Tujuannya adalah mendorong semua pihak untuk memberikan perhatian khusus pada nelayan kecil, pembudidaya ikan, dan pekerja perikanan. Profesi yang berkontribusi sangat besar dalam ketahanan pangan, namun kehidupannya sangat rentan dan sering terlupakan.

Konteks ini sangat relevan dengan situasi di Indonesia. Indonesia adalah salah satu negara produsen ikan terbesar dunia, dengan lebih 96% nelayannya skala kecil, namun tingkat kesejahteraannya relatif paling terbatas.

Kalau diamati di lapangan, memang ada beberapa hal fundamental yang sering dilupakan ketika berbicara nelayan. Yang selanjutnya berkontribusi pada berbagai kegagalan kebijakan dan program.

Profesi Paling Beresiko

Menurut International Labour Organization (ILO), nelayan adalah profesi yang paling berbahaya di dunia. Tingkat kecelakaan dan kasus cukup tinggi sepanjang tahun. Bahkan hasil study Fish Safety Foundation (2022) memperkirakan kematian terkait perikanan secara global mencapai 100.000 kasus setiap tahun.

Ketidakpastian usaha dan resikonya juga tinggi. Tidak seperti bekerja di kantor di perkotaan. Sekali mesin kapal rusak di tengah laut, nyawa bisa jadi taruhannya. Ketika ombak dan badai datang, tidak banyak tempat berlindung yang aman. Bahkan dalam setahun nelayan paling banyak bisa melaut selama delapan bulan. Sisanya menganggur atau cari kerja serabutan lain. Pendapatannya tidak tentu. Dan tidak banyak pihak perbankan atau asuransi yang mau mengurusi nelayan, kapal, dengan segenap kebutuhannya.

Kadang rencana melaut seminggu, tahu-tahu sudah balik dalam sehari, karena cuaca buruk. Atau sudah berhari-hari di laut, belum balik modal. Hasil tangkapannya tidak tentu. Padahal biaya untuk melaut tidak gratis. Perlu akses dan bekal melaut seperti BBM, es dan lainnya. Dan dengan postur nelayan Indonesia yang lebih 96% adalah nelayan kecil dengan kapal/perahu berukuran dibawah 10 Gross Ton, nelayan Indonesia berada pada posisi yang sangat rentan.

Ditambah lagi, dampak kebijakan, sering berimbas lebih dalam terhadap mereka. Kenaikan harga BBM dan harga komoditas, misalnya, bisa memukul telak kehidupan nelayan.

Padahal, di masa harga normal saja, mereka sudah mengakses harga BBM dan barang pokok lebih mahal dibanding mereka yang tinggal di perkotaan. Apalagi yang tinggal di wilayah Timur Indonesia atau daerah pinggiran. Belum lagi pasokan barang dan BBM belum tentu tersedia setiap saat. Sehingga selain menjadi profesi paling berbahaya, juga masih sangat beresiko.

Kebijakan dan Program Nelayan yang (belum) Berpihak

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline