Lihat ke Halaman Asli

Negara Gagap Maritim

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Lupakan sejenak kebanggaan bahwa Indonesia itu negara kepulauan terbesar di dunia. Mari abaikan dulu lagu epik 'nenek moyangku seorang pelaut' yang selalu digambarkan tangguh mengarungi samudera. Dalam empat dekade terakhir, ternyata kita tidak banyak berbuat di lautan. Pembangunan kelautan seolah hanya menjadi beban. Pemerintah sangat gagap dan bekerja tidak tuntas justru ketika berurusan dengan isu-isu kelautan. Alih-alih memanfaatkan sumberdaya melimpah secara baik, pengelolaan justru carut-marut dan menyisakan persoalan di sana-sini. Kekayaan kelautan, seolah menjadi kutukan bagi masyarakat pesisir dan kepulauan.

Ironi Negara Kepulauan

Terletak di posisi strategis, perairan Indonesia menjadi salah satu jalur terpadat pelayaran niaga dunia. Selat Malaka misalnya, menjadi tempat lalu lalang 50 ribuan kapal setiap tahun. Sayangnya, kapal-kapal tersebut malah lebih senang singgah di Singapura karena fasilitas pelabuhan dan sistem pengelolaannya yang modern. Sementara Indonesia, justru lebih tertarik membangun jembatan Selat Sunda, misalnya, dengan biaya ratusan trilyun, ketimbang membangun pelabuhan modern. Tidak itu saja, usaha pelayaran niaga yang ada di Indonesia, mayoritas dikuasai oleh pihak asing. Hanya segelintir yang dimiliki warga negara Indonesia.

Demikian pula dengan berbagai jasa kelautan yang ada. Meski memiliki tidak kurang lebih 15.000 orang penyelam lokal, ternyata kegiatan jasa bawah laut dan selam komersial, misalnya pengelasan bawah laut, pemipaan, pemasangan kabel, inspeksi, penanganan muatan kapal tenggelam, dan sebagainya, hampir seluruhnya didominasi oleh asing. Resort-resort penyelaman dan wisata juga lebih banyak dikelola pihak luar negeri, yang kadang menjadikan resortnya seperti ruang privat.

Bagaimana masyarakat kepulauan? Kantung-kantung kemiskinan Indonesia, justru terdapat banyak wilayah di pesisir dan kepulauan. Lebih dari 90% nelayan Indonesia hanya memiliki perahu dengan motor tempel atau malah tak bermotor sama sekali. Di sisi lain, mereka terus terimbas dengan berbagai kebijakan dan perencanaan yang tidak sensitif. Akibatnya, di kepulauan tidak banyak akses permodalan infrastruktur dan fasilitas yang tersedia. Harga-harga yang berlaku di kepulauan, baik BBM, bahan makanan dan sembako dan akses lainnya, jauh lebih mahal dibanding yang tersedia di perkotaan. Langganan cuaca dan gelombang buruk yang tidak diantisipasi dengan sistem yang baik membuat lonceng kematian nelayan terus berdentang dengan masa depan yang sulit dikatakan cerah.

Dunia perikanan pun kacau balau. Ribuan kapal asing dari 10 negara terus menyerbu Indonesia setiap tahun dan melakukan praktek perikanan ilegal (illegal fishing) tanpa mampu dicegah. Overfishing sudah terjadi di mana-mana. Kerugian akibat praktek perikanan ilegal tersebut diperkirakan tidak kurang dari 30 trilyun rupiah setiap tahun. Pihak TNI AL maupun Ditjen Pengawasan di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memang mengklaim menangkap sekitar 300-an kapal setiap tahun, namun jumlah tersebut seolah menggarami lautan. Apalagi dalam prakteknya, meski ditangkap, kadang kapal-kapal tersebut tidak diproses melalui pengadilan dan tidak ada penyelesaian tuntas. Tidak jarang malah dilepaskan. Di sisi lain, Indonesia justru semakin terdesak dan terjebak untuk melakukan impor ikan dalam jumlah besar, yang sumbernya disinyalir, justru ditangkap dari perairan Indonesia.

Indonesia juga begitu abai dalam menuntaskan garis perbatasan dengan 10 negara tetangga. Jangan heran, berbagai friksi atau insiden terus terjadi di perbatasan, dimana Indonesia yang selalu 'tersudut' dan seolah berada di pihak yang bersalah. Insiden perbatasan dengan Malaysia, misalnya, akan terus berulang seperti film, hanya dengan versi yang berubah-ubah, namun tidak pernah diselesaikan tuntas. Ketiadaan garis batas yang akurat memberikan implikasi bagi kerawanan kedaulatan Indonesia. Lepasnya Sipadan-Ligitan beberapa tahun lalu, menunjukkan lemahnya diplomasi dan kapasitas Indonesia terhadap sumberdayanya.

Dalam hal pulau-pulau kecil, meski memiliki 13.448 pulau, dan menjadi jumlah yang terbesar yang dimiliki sebuah negara di dunia, pemerintah masih jauh dari kapabel dalam mengelolanya. Berbagai prediksi menyebutkan bahwa tahun 2030 sekitar 2000 pulau Indonesia akan tenggelam akibat perubahan iklim, namun sampai saat ini Indonesia belum punya suatu strategi dan rencana detail untuk mengantisipasinya. Waktu terus berjalan, namun tidak banyak aksi yang dilakukan.

Tidak itu saja, ancaman bencana pesisir, baik gempa, tsunami, banjir --- terus mengancam serius. Indonesia berada tepat diwilayah pertemuan tiga buah lempeng sehingga dikenal dengan kawasan 'ring of fire' dan jalur gempa yang signifikan. Namun, Indonesia jauh dari punya strategi yang mapan untuk melakukan antisipasi dan kesiapsiagaan di pesisir kepulauan. Model penanganan berbagai bencana di pesisir, misalnya di Mentawai dan Wasior, menunjukkan betapa lemahnya kapasitas kesiapsiagaan dan penanganan bencana di pesisir atau kepulauan.

Perspektif serba Ikan

Masalah mendasar sehingga Indonesia sangat gagap ketika berhadapan dengan isu kelautan adalah paradigma dan cara berpikir yang serba daratan. Formulasi kebijakan, anggaran, perencanaan pembangunan dalam semua aspek selalu gagal menempatkan kelautan dan masyarakat kepulauan sebagai domain penting. Urusan kelautan selalu dipandang identik dengan hanya urusan dan produksi perikanan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline