Lihat ke Halaman Asli

Namanya Bungkrik, Bung

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Muhammad Zuhair Yahya

Kami hanya berdua ketika menyusuri jalanan di komplek itu, diikuti bayang-bayang kami yang tercetak di jalan aspal karena sinar matahari yang pada siang itu begitu terik.

Sisi kanan dan kiriku adalah rumah. Aku dan Ayahku berjalan sembari mempersiapkan bibir, untuk tersenyum dan menyapa warga yang sudah terlebih dahulu tinggal di sini. Namun, belum ada yang kami temui pada waktu itu. Hingga tibalah kami di suatu blok. Di blok itulah, rumah kecil yang akan kami huni berdiri. Sudah ada beberapa rumah yang berpenghuni, namun perbadingannya sedikit sekali dengan yang tidak. Dari delapan rumah, hanya tiga yang menunjukan tanda-tanda kehidupan, dan sisanya hanya menjadi tempat berlalunya angin siang hari yang kering.

“Kita akan ubah tempat mengerikan ini. Menjadi rumah yang layak untuk kita tinggali, nak..” ucap Ayahku seraya membuka pintu rumah baru kami itu.

Aku hanya mengangguk mendengarnya, pandanganku terpaku pada debu-debu di rumah kecil mengerikan itu yang terlihat bertebaran karena menghamburkan cahaya.

Benar saja, hanya dalam tiga hari, Aku dan Ayahku berhasil membangun sebuah istana kecil-kecilan yang kami sebut ‘rumah’ itu. Dikatakan sebagai istana, karena tampilan dan keadaannya kini telah berubah total dari tampilan dan keadaan awal. Pemandangan yang akan membuat dahi berkerut menurutku.

Sembari tersenyum ayahku berkata, “kau suka warna temboknya kan, nak?”

Sekali lagi, Aku hanya mengangguk mendengarnya. Tentu saja Aku menganggap ini adalah hal yang luar biasa. Mengingat banyak hal di sekelilingku sekarang yang seakan-akan telah binasa. Hanya rumahku waktu itu yang berkilau, dan hanya rumahku juga yang seakan berkata, “aku memakai baju… warnanya… Ungu!!”

Minggu pertama, setelah semuanya kembali rapih. Aku dan Ayahku mencoba memasang sebuah antena televisi. Karena sesuai rencana, malam harinya kami akan menonton televisi sambil menyantap dua mangkuk mie instan yang telah diseduh dan hangat. Hari-hari dalam satu minggu itu berlangsung normal-normal saja bahkan menyenangkan. Minggu kedua, Ayahku dan Aku pergi untuk membeli sebuah kipas angin. Karena jujur saja, kami tak kuat dengan udara panas pada waktu itu. Sama seperti minggu pertama, terasa begitu normal dan biasa saja.

Minggu ketiga, yang Aku ingat adalah saat itu Ayahku tertidur pulas seusainya mencuci beberapa piring. Aku berusaha menghibur diriku sendiri dengan memainkan puzzle kepunyaanku. Dan di sinilah awal dari semua hal tak terduga itu. Aku berhasil menyelesaikan sembilan puluh sembilan persen dari puzzle tersebut, namun tidak bisa kujadikan seratus karena ada satu bagian yang hilang entah kemana. Kemudian Aku mengambil kardus tempat semua mainanku berada dan tanganku pun masuk ke dalamnya untuk mencari bagian yang hilang tersebut.

Tiba-tiba saja ada sesuatu yang menyentuh siku-ku. Rasanya begitu licin, dan sekejap melarikan diri dariku. Terang saja, melihat tak ada apapun di belakangku, Aku pun berlari menuju kamar tempat Ayahku tertidur pulas.

Minggu keempat, sepertinya waktu itu Aku sudah lupa akan hal yang baru kualami di minggu sebelumnya. Aku pun menghampiri Ayahku yang tengah duduk di kursi seraya memijit tombol di televisi untuk mencari saluran yang bagus.

“Aku tidak tahu kemana perginya satu bagian dari mainanku ini….” Kutunjukan puzzle yang tidak lengkap itu kepadanya.

Dia tersenyum, “maksudmu.. Aku musti beranjak keluar pintu dan membelikanmu yang baru, begitu?”

“Tentu saja, Ayah…”

“Baiklah. Bersiap-siaplah, ganti bajumu dan ambil sandalmu.. Kita berangkat” katanya.

Aku berlari dan melawati pintu begitu saja, disusul Ayahku yang kemudian berbalik untuk menutup dan mengunci pintu.

“Mengapa ada semacam cairan di sini…” katanya dengan nada bingung.

Aku hanya menggelengkan kepala dan menganggapnya angin lalu. Sampai sepulangnya Aku dari membeli mainan baru, Aku berlari dan mencoba membuka pintu. Betapa terkejutnya Aku ketika melihat pintu rumahku ternyata tak terkunci. Ayahku kembali kebingungan, dan kebingungannya bertambah ketika Ia berusaha mengunci pintu tersebut namun tak dapat terkunci. Pada akhirnya, Ayahku memutuskan untuk membiarkannya.

Sudah satu bulan Aku berada di sini, dan selama itu Aku mengalami banyak kejadian-kejadian aneh. Itu membuatku keheranan. Selalu terpikirkan olehku saat-saat dimana keanehan itu terjadi.

Dan yang paling kuingat adalah ketika Aku dan Ayahku memasuki bulan kedua. Tepat di hari pertama, minggu pertama,  Aku beranjak tidur. Di dalam tidurku, Aku bermimpi ada seorang wanita tua berjubah merah darah yang menghampiriku, wajahnya pucat, tangannya licin seperti dilapisi oleh lumut, dan dia selalu mengisap jempolnya sehingga penuh oleh air liurnya. Sungguh mengerikan, berulang kali Aku terbangun dan menangis dibuatnya.

Mimpi itu pun tak pernah muncul kembali. Dan, tepat di minggu kedua, Aku dan Ayahku kembali mengalami hal aneh. Siang itu panas sekali, lebih panas dari biasanya. Mungkin matahari tengah berada dititik amarahnya. Panasnya udara membuatku memutuskan untuk menyalakan kipas angin yang sebulan lalu kami beli. Walaupun anginnya terasa begitu kering, namun setidaknya dapat mengobati kami dari udara panas pada waktu itu.

Beberapa menit berlalu setela kipas itu dinyalakan, tiba-tiba terdengar olehku suara yang aneh dan terdengar sangat asing. Aku belum pernah mendengarnya. Aku mematikan kipas angin yang tengah berputar dan mendengarkan dengan seksama. Keheningan siang yang selalu melanda komplek itu membuat suara itu terdengar sangat jelas. Tepat! Itu adalah suara wanita tua itu tengah tercekik di suatu tempat, begitu pikirku.

Tanpa pikir panjang, Aku berlari menghampiri Ayahku. Mataku saat itu seakan terlapisi kaca, Aku hendak menangis namun masih diliputi rasa heran yang berlebih.

“Kau mendengarnya, yah?” kataku dengan suara sedikit bergetar.

“Apa yang perlu dikhawatirkan? Itu hanyalah suara mesin pompa air tetangga sebelah…”

Kau pikir Aku pecaya hal yang dibicarakannya itu? Tentu tidak, hari itu Aku tak mau melepaskan diri dari Ayahku, sepanjang hari.

Ternyata suara itu terus terdengar di hari-hari berikutnya, minggu-minggu berikutnya. Mungkin ini terlalu berlebihan, namun ketika itu Aku yang begitu ketakutan sampai-sampai terkena demam yang cukup tinggi.

Setelah sembuh dari demam tersebut, tepat diminggu ketiga. Ayahku sekarang juga keheranan, mencoba mencari sumber suara tersebut. Berhari-hari dicarinya sumber suara itu, namun tak juga ditemukan.

“Kau pernah berkata bahwa itu adalah suara mesin pompa air tetangga, Ayah..” kataku dengan polos.

“Kau tak percaya, mari kita kesebelah dan buktikan ucapanku..” balasnya.

Aku mengangguk dan mengikuti langkahnya menuju rumah tetanggaku.

Seperti yang aku katakan sebelumnya, rumahku jauh lebih berkilau dibanding tiga rumah lainnya. Dan, rumah tetanggaku yang satu ini bagaikan sebah bunker gunung merapi yang sudah berkali-kali terkena awan dan debu panas.

“Maaf bila rumahku ini seperti ini… Aku jarang merawatnya, sehingga sekarang terlihat seperti terguyur hujan asam berhari-hari ya? Ha.. Ha.. Ha..” katanya.

“Tidak masalah bagi Saya. Yang bermasalah adalah suara mesin pompa airmu yang sejak dua minggu lalu kau nyalakan.. Itu sangat bising, mengganggu, dan… mengerikan” ucap Ayahku padanya.

Mendengar itu, tetanggaku menaikan alisnya. “Aku tidak pernah menyalakan mesin pompa air sampai selama itu..”

“Lantas?” balas Ayahku.

Tetanggaku terdiam sejenak, suasana menjadi hening untuk sesaat karena Ia mencoba mencermati apa yang terdengar di sekitar. Kemudian dia menatap Ayahku dengan padangan aneh dan tertawa lebar setelahnya.

“Kau bercanda? Ha.. Ha.. Ha.. Itu bukan suara mesin pompa air, itu suara Bungkrik” dia memegangi perut sangking puasnya tertawa. “Ya! Itu Bungkrik!”

“Bungkrik?” tanya Ayahku semakin keheranan.

“Ya, Bungkrik, begitulah orang-orang sini menyebutnya!” balasnya. “Itu serangga, yang sudah lama mengganggu komplek ini. Semenjak burung-burung diburu, jumlah serangga itu pun bertambah walaupun sulit untuk ditemukan. Biasanya di musim panas seperti ini, serangga itu sering kali muncul. Serangga yang suka melompat… Berlendir…Dan memiliki suara yang khas” dia berhenti sejenak. “Yahh.. di sini, serangga seperti itu disebut bungkrik, Bung!”

Aku mulai memahami semua ini, tapi ayahku masih saja berusaha mencerna kata-kata yang baru saja diucapkan tetanggaku ini.

“Hmmm saya masih saja kebingungan. Apa Bungkrik itu juga-lah yang sudah membuat pintu rumah Saya tak bisa terkunci?”

“Oooh itu?” katanya.Setelah pindah kemari, apa kau mengganti gagang pintunya?”

“Tidak.. Tindakan sia-sia menurutku..”

“Bukan begitu, Bung.. Pihak pengembang di sini sepertinya mengalami keterpurukan. Hal ini karena bungkrik itu membuat komplek ini menjadi rendah peminat, bahkan banyak calon pembeli yang membatalkan minatnya tinggal di sini. Akhirnya, pengembang pun berfikir untuk tidak melanjutkan pembangunan. Dan bangunan yang ada dan sudah jadi, hanya disusun oleh bahan-bahan seadanya.. Bukan hanya itu, sebagaian diantara kami bahkan memilih untuk pindah ke tempat lain” katanya. “Mungkin sebulan dua bulan, gagang pintumu akan bekerja dengan normal. Tapi setelahnya, ceritanya bisa berbeda, Bung!” jelas tentanggaku itu.

Ayahku pun mengangguk-angguk dibuatnya.

“Begini saja.. Apa sore ini Kau ada acara?” tanya tetanggaku dengan antusias. “Kalau tidak, biarkan Aku mengurus pintumu, kebetulan Aku berbakat dalam hal pertukangan. Bagaimana?”

Ayahku terdiam seraya tersenyum penuh rasa lega. Dijulurkan tangannya, untuk mengajak tetangganya itu bersalaman.

Sekarang, semuanya nampak sangat jelas bagiku. Wanita tua yang pernah muncul dimimpiku, ternyata merupakan jelmaan seekor serangga. Hal-hal yang pernah kualami pun, tenyata bukan sesuatu yang harusnya ditakutkan. Serangga yang disebut Bungkrik-lah yang telah mengisi bulan-bulan pertamaku tinggal di rumah ini. Mungkin ketika Aku menemukan serangga itu nanti, akan kutangkap, dan kupelihara dia di dalam kotak kaca, sehingga tiap siang dia akan bersuara. Aku harap, tidak ada pendatang baru yang nantinya mengetuk pintu rumahku karena mendengar suara ‘pompa air’ yang tak kunjung berhenti.

-TAMAT-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline