Meski telah mengalami perluasan pemaknaan, konsep tradisional mengenai ancaman dan keamanan dalam studi hubungan internasional masih memiliki ruang yang luas untuk dikaji. Pasca perang dingin, dominasi konsep ancaman dan keamanan non-tradisional, seperti kemiskinan, perubahan iklim, perdagangan manusia, hingga kerusakan lingkungan hidup tidak membuat pemikiran-pemikiran berdimensi militer hilang begitu saja.
Lingkungan global yang lebih berisiko membuat negara seakan berlomba menunjukan kapabilitas militernya sebagai upaya perlindungan terhadap keamanan nasionalnya. Hal ini menunjukan bahwa motivasi kepemilikan senjata nuklir sebagai alat pengimbangan inferioritas juga ikut meningkat diikuti dengan kekhawatiran akan keberadaannya.
Kepemilikan senjata nuklir tentu akan sangat mengancam keamanan global. Selain oleh negara, kepemilikan senjata nuklir oleh kelompok teroris juga menjadi sebuah persoalan serius. Kesadaran akan dampak yang timbul akibat dari penggunaan senjata nuklir mendorong munculnya berbagai tindakan kolektif, baik unilateral, bilateral, regional, maupun global sebagai upaya untuk mengontrol kepemilikan, penyebaran, dan pengembangan senjata nuklir.
Kekhawatiran terhadap kepemilikan senjata nuklir mengakibatkan terjadinya security dilemma yang menjadikan upaya proliferasi nuklir dianggap sebagai suatu tindakan yang tepat untuk menjaga keamanan nasional akibat dilema yang ada. Hal ini berjalan beriringan dengan argumentasi para pemikir realis yang menganggap bahwa proliferasi nuklir merupakan hal yang wajar untuk dilakukan oleh suatu negara.
Karena sistem internasional yang bersifat anarki, negara-negara dituntut untuk dapat memperkuat national security mereka untuk dapat bertahan. Ilustrasi dari peristiwa ini dapat dipahami dengan melihat bagaimana kepemilikan senjata nuklir oleh Pakistan dapat membantu mereka dalam mengimbangi keunggulan India.
Keberadaan instrumen hukum yang ketat telah memperlihatkan kinerjanya dalam mengontrol kepemilikan senjata nuklir melalui prinsip dan norma yang dibawa. Eksistensi berbagai traktat maupun perjanjian seperti Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) maupun Comprehensive Test Ban Treaty (CTBT) memperlihatkan bahwa komunitas internasional telah menunjukan komitmennya akan persoalan yang dihadapi. Keberadaan instrumen-instrumen hukum tersebut telah memperlihatkan efektifitas dan signifikansinya dalam upaya mengontrol dan mengurangi kemungkinan proliferasi senjata nuklir yang dapat dibuktikan dengan bergabungnya banyak negara kedalam perjanjian tersebut.
Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) sebagai lembaga internasional independen yang didedikasikan untuk penelitian konflik, persenjataan, kontrol senjata, dan perlucutan senjata dalam laporan terbarunya menyebutkan bahwa telah terjadi penurunan hulu ledak nuklir sejak awal tahun 2021 (SIPRI 2021 Year Book, 2021). Laporan yang dikeluarkan juga menunjukan terjadinya penurunan persenjataan nuklir dunia sejak akhir perang dingin.
Berdasarkan data yang dikeluarkan SIPRI pada pada Januari 2021, Rusia dinobatkan sebagai negara dengan kekuatan nuklir terbesar di dunia, diikuti dengan Amerika Serikat, Tiongkok, Britania Raya, Perancis, Pakistan, India, Israel, dan Korea Utara. Meskipun terjadi penurunan 2,38%, jumlah hulu ledak nuklir dari kesembilan negara ini masih terbilang cukup besar (SIPRI, 2021).
Eksistensi dari instrumen hukum dan badan-badan pengawasan seperti Badan Energi Atom Internasional (IAEA) maupun NPT telah menunjukan bahwa persoalan proliferasi nuklir telah menjadi sebuah isu yang patut untuk menjadi perhatian. Keberadaan rezim non-proliferasi nuklir ini kemudian difungsikan untuk dapat memfasilitasi berbagai perjanjian dan kesepakatan yang telah dibuat oleh negara-negara dengan menyediakan seperangkat norma dan kerangka hukum yang memungkinkan adanya tindakan kolektif dalam menghadapi tantangan yang ada.
Masalah pencapaian universalitas dan kepatuhan berbagai pihak masih menjadi sebuah tantangan tersendiri. Dilain sisi, keberadaan instrumen kebijakan seperti NPT masih menimbulkan berbagai perdebatan. Sebab, pembagian negara kedalam beberapa kriteria seperti Nuclear Weapon State (NWS) dan Non-Nuclear Weapon State (NNWS) dalam hal kepemilikan senjata nuklir cenderung bersifat diskriminatif dan melahirkan disintegrasi politik. Adanya pembeda seperti ini dirasa hanya menjadi sarana untuk mencapai perlucutan senjata nuklir bagi para great power yang kemudian akan menimbulkan kekhawatiran di monopolinya kepemilikan senjata nuklir.