Lihat ke Halaman Asli

Punggawa-Sawi, Organisasi Nelayan Bugis (Kearifan Lokal)

Diperbarui: 5 Maret 2019   11:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok.pribadi

Keragaman budaya telah mempengaruhi bangsa ini dalam memahami pentingnya budaya bahari. Budaya bahari hendaknya dipahami sebagai cara atau pola pikir sekelompok masyarakat yang menetap di wilayah pesisir dengan memiliki cara pandang tertentu tentang religi (pandangan hidup), bahasa, seni, mata pencaharian, organisasi, pengetahuan dan teknologi. 

Melalui analogi dari tujuh unsur budaya, ketujuh unsur tersebut diarahkan pada pemberdayaan dan sumber daya kelautan untuk pertumbuhan dan dinamika masyarakat yang menetap di wilayah perairan, pesisir. 

Bagi masyarakat pesisir, sikap hidup dasar masyarakat tersebut adalah memiliki atau menganggap bahwa laut merupakan sumber daya untuk kelangsungan, pertumbuhan dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karenanya, masyarakat pesisir di wilayah Indonesia memiliki cara pandang tertentu terhadap sumber daya laut dan persepsi kelautan. 

Melalui latar belakang budaya yang dimiliki oleh masyarakat pesisir, muncul suatu tradisi untuk menghormati kekuatan sumber daya laut. Tradisi tesebut lazimnya diwujudkan melalui ritual, yang bertujuan untuk mengungkapkan rasa syukur karena alam melalui sumber daya laut telah memberikan kelimpahan serta rejeki dalam kelangsungan hidup mereka.

Orang Sulawesi Selatan, khususnya suku Bugis, Makassar dan Mandar, sejak dahulu kala dikenal sebagai pelaut dengan etos bahari yang tinggi. 

Masyarakat nelayan suku Bugis-Makassar telah mengembangkan kemampuannya menjadi masyarakat nelayan yang tertata pada suatu sistem sosial kemasyarakatan dengan orientasi kebudayaan kepada laut sebagai sarana dalam rangka aktivitas kehidupan mereka maupun dalam kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan lingkungan laut yang tergambar dalam kehidupan masyarakatnya yang mampu mengembangkan kemampuan dalam bidang pelayaran penangkapan ikan, teknologi pelayaran, usaha perdagangan dan aturan-aturan hukum dibidang perdagangan. 

Nelayan merupakan salah satu komunitas di Sulawesi Selatan yang kondisi realitasnya sampai saat ini mengelola, memelihara dan memanfaatkan sumberdaya hayati laut berdasarkan norma-norma dan nilai-nilai budaya melalui pegunaan teknologi cara (soft ware technology) maupun teknologi alat (hard ware technology) yang bersifat partisipatif, assosiatif, analogik dan orientif yang melembaga serta dipertahankan melalui pengendalian sosial (social control) oleh setiap warganya.

Oraganisasi nelayan Bugis dan Makassar dikenal dengan istilah punggawa-sawi. Punggawa adalah mereka yang memiliki modal (perahu dan alat tangkap), pengetahuan dan kekuasaan. Sedangkan sawi adalah mereka (nelayan) yang tidak memiliki apa-apa, kecuali tenaga. 

Berdasarkan statusnya, punggawa terdiri atas dua macam, yaitu punggawa posasi (pemimpin di laut) dan punggawa pottana (pemimpin di darat) atau biasa disebut pappalele

Punggawa posasi atau dalam komunitas nelayan lebih populer disebut punggawa saja, adalah pemimpin dalam kegiatan operasional penangkapan ikan di laut. Ada kalanya punggawa posasi tidak memiliki perahu dan alat tangkap, sehingga mereka menggunakan perahu dan alat tangkap dari pappalele, sedangkan punggawa pottana (pappalele) adalah pemilik modal, baik berupa peralatan (termasuk perahu) maupun finansial (biaya operasional pengkapan). 

Dalam kedudukannya sebagi pemimpin dan pemilik modal, punggawa pottana tidak langsung dalam kegiatan operasional penangkapan ikan. Akan tetapi dia mengangkat punggawa posasi (yang tidak mempunyai perahu) untuk memimpin kegiatan operasional penangkapan ikan di luat. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline