Lihat ke Halaman Asli

myusuf298

semangat berbagi

Kenapa Wartel yang Hampir Punah Kini Berdemo

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hari Kamis 18 Maret 2010 yang lalu saya sedikit terkejut, gara-garanya saya lihat para senior dan sesepuh Wartel melakukan demo di sejumlah tempat di Jakarta, antara lain di Indosat, BRTI, XL Axiata, dan Telkom. Saya lebih terkejut lagi, karena ternyata aksi mereka diekspos oleh banyak media masa nasional, seperti Bisnis Indonesia dan Koran Tempo, Koran Jakarta. Bahkan DetikInet.com merelease berita mereka pada 8 artikel yang berbeda. Tentu cukup surprise bagi saya untuk ukuran aksi para senior.

Tidak sekedar surprise, saya juga menaruh sikap simpati. Pasalnya, posisi pengusaha Wartel saat ini boleh di kata sekarat, karena bisnis yang selama ini telah memberi keuntungan manis tersebut, kini posisinya hampir punah. Bisnis Wartel mengalami masa jaya pada tahun 1996-2002. Jumlah pengusaha Wartel pada saat itu mencapai lebih dari 150 ribu di seluruh Nusantara. Omset mereka pada saat itu mencapai lebih dari 300 miliar per bulan, namun akhir tahun 2003 tinggal 260 miliar, akhir 2004 tinggal 190 miliar, akhir 2005 tinggal 130 miliar, akhir 2006 tinggal 90 miliar, akhir 2007 tinggal 50 miliar, akhir 2008 tinggal 20 miliar dan akhir 2009 tinggal 8 miliar per bulan. Artinya, sejak tahun 2002, bisnis Wartel turun fastastis dari minus 13 sampai 60 persen, dengan rata-rata minus 38 persen. Angka 8 miliar pada akhir 2009 tersebut lebih banyak dikontribusi oleh Wartel-wartel komunitas seperti Pondok Pesantren, tempat penampungan TKI, Lembaga Pemasyarakatan, dan yang sejenisnya, sedangkan Wartel yang berada di pemukiman penduduk praktis bisa disebut punah.

Kenapa Wartel nyaris punah? Semua orang bisa menjawabnya. Memang banyak sebab kemusnahan Wartel, namun yang utama karena penetrasi seluler yang luar biasa, mampu menjangkau seluruh segmen masyarakat, plus tarifnya yang mengalahkan Wartel. Bisnis Wartel memang mirip Pager dan AMPS yang kian lama harus menerima kenyataan, karena kebutuhan masyarakat telah bergeser. Tidak ada jalan bagi para pengusahanya, kecuali berinovasi menjual layanan baru yang dibutuhkan masyarakat.

Lalu kenapa mereka berdemo? Aksi demo Wartel yang dimotori oleh Asosiasi Pengusaha Wartel Indonesia (APWI) tersebut tidak punya kaitan langsung dengan kenyataan turunnya bisnis Wartel, namun seperti dinyatakan oleh mereka, disebabkan masalah Airtime.

Kisahnya berawal dari terbitnya Keputusan Menteri Perhubungan nomor KM. 46 Tahun 2002 tentang Penyelengaraan Warung Telekomunikasi. Pada Pasal 15 disebutkan “ Penyelenggara Wartel berhak mendapatkan bagian pendapatan dari tarif dasar Wartel yang berlaku dari penyelenggara jaringan telekomunikasi.” lebih lanjut Pasal 16 ayat (1) disebutkan “Pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 berasal dari tarif dasar Wartel yang terdiri dari:...butir c. Airtime dari penyelenggara jaringan bergerak seluler sekurang-kurangnya sebesar 10%”. Selanjutnya pada ayat (2) disebutkan “Pendapatan dari harga Airtime sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dilaksanakan setelah adanya kesepakatan antara penyelenggara jaringan tetap lokal dengan penyelenggara jaringan bergerak seluler.”

Substansi dan semangat KM.46/2002 tersebut sebetulnya ingin memberi keuntungan yang lebih baik kepada para pengusaha Wartel, yang notabene adalah pengusaha kecil. Sangat disayangkan, ternyata KM tersebut tidak ditindaklanjuti dengan Peraturan di bawahnya. KM tersebut seharusnya di jabarkan oleh kebijakan teknis di level bawahnya, paling tidak mekanisme atau cara pembayaran hak Airtime tersebut dari penyelenggara jaringan bergerak seluler (Operator Seluler - Opsel) kepada pengusaha Wartel. Sebagaimana disebutkan pada ayat (2) di atas, seharusnya penyelenggara jaringan tetap lokal (Operator Lokal) melaksanakan kesepakatan dengan Opsel, khususnya teknis perhitungan dan pembayaran hak Airtime, karena tagihan Wartel di kumpulkan oleh Operator Lokal, sementara hak Airtime diperoleh Wartel dari Opsel.

Karena dua hal tersebut tidak terwujud, seluruh pendapatan Airtime diserahkan oleh Wartel kepada Operator Lokal, selanjutnya Operator Lokal meneruskan kepada Opsel. Sehingga hak Airtime 10% yang seharusnya diterima Wartel tidak kunjung dinikmati. Karena hal inilah, kasus Airtime mencuat.

Kasus Airtime pertama kali muncul pada tahun 2004, dipelopori dan diwakili oleh APWI, para pengusaha Wartel menuntut hak Airtime sebesar 10% sesuai KM.46/2002. Tuntutan APWI berjalan cukup lancar, sampai akhirnya ditetapkan gugus tugas untuk penyelesaian masalah Airtime melalui SK Ketua BRTI nomor 148/BRTI/2004 tanggal 16 Desember 2004 dan SK Dirjen Postel nomor 06/DIRJEN/2005 tanggal 28 Januari 2005. Setelah melalui pekerjaan yang cukup berat dan melelahkan, dan tentu saja diwarnai perbedaan pendapat dan perdebatan, akhirnya pada tahun 2005 APWI menerima dana hak Airtime dari para Opsel total senilai 120 miliar rupiah. Dana tersebut adalah hak Airtime untuk periode Agustus 2002 sampai dengan Maret 2005. APWI menunjuk PT POS untuk mendistribusikan dana tersebut kepada para pengusaha Wartel di seluruh Nusantara, disamping itu APWI juga diminta menunjuk audit independen untuk menilai pertanggungjawaban mereka dalam distribusi dana.

Diterimanya dana sebesar 120 miliar rupiah oleh APWI tidak serta merta urusan Airtime selesai. Banyak pihak, antara lain Asosiasi Warung Telekomunikasi Indonesia (AWTI), mempertanyakan keabsahan APWI, termasuk mempertanyakan kualitas distribusinya. Beberapa kalangan menuduh, dana tersebut tidak terdistribusi sebagaimana mestinya, dan akhirnya mereka membawa permasalahan tersebut ke ranah pengadilan. Meskipun kasus ini akhirnya selesai, namun semua pihak yang terkait sempat dibuat jera, karena mereka telah dibuat capek menghadapi kesaksian dan dakwaan pengadilan.

Belajar dari pengalaman pencairan dana Airtime yang sangat melelahkan, akhirnya semua pihak sepakat untuk merevisi KM.46/2002 secepat-cepatnya. Upaya untuk merevisi KM.46/2002 telah dilaksanakan dengan serius oleh Tim Dirjen Postel dan BRTI, meskipun akhirnya kebijakan itu baru ditetapkan pada tahun berikutnya, yaitu PM.05/PER/M.KOMINFO/I/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang Penyelenggaraan Warung Telekomunikasi. Kebijakan ini menghapus KM.46/2002 sekaligus tidak lagi mencantumkan hak Airtime bagi para pengusaha Wartel.

Terbitnya PM.05/2006 pada Januari 2006 telah menimbulkan isu baru, yaitu terkait hak Airtime setelah periode Maret 2005. Isu tersebut diangkat kembali oleh APWI untuk memperoleh hak Airtime tahap 2. Mulailah APWI melayangkan tuntutannya pada pertengahan tahun 2007. Tuntutan dana Airtime tahap 2 tidak semudah tahap sebelumnya. Paling tidak ada 3 sebab.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline