Lihat ke Halaman Asli

Master of Facebook (1): Akhirnya Kelar Juga!

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13315893541551087677

Kenangan-kenangan nelangsa ini, saya pikir hanya terjadi di S1. Namun setelah kuliah S2, cerita-cerita nelangsa ini muncul juga. Seakan-akan hantu S1 muncul kembali waktu kuliah di S2. Oleh: Mochamad Yusuf* Dulu waktu kuliah S1, saya merasa sekolah di S1-lah yang paling memprihatinkan. Dari sekian pengalaman sekolah sebelumnya memang S1 ini yang bikin nelangsa. Sekolah di SD-lah yang paling membahagiakan. Rasanya saat mengenakan seragam merah putih ini, saya tak pernah merasa sedih. Gembira terus. Meski banyak tugas, banyak PR, sekolah banjir, kelas bubar karena hujan lebat, saya ‘happy’ terus. Padahal dari sekian sekolah yang masuki, gedung di SD inilah yang paling parah keadaannya. Kamar mandinya kotor banget, nyaris seperti tak ada. Makanya saya dan teman-teman laki lain, kalau kencing di got sebelah sekolah. Bukan di kamar mandi. Keadaan seperti ini malah bikin gembira, karena dapat membuat lomba tinggi-tinggian air kencing yang dilakukan. Yang kalah, pasti deh diejek habis-habisan. Kalau hujan pasti bocor sana-sini. Kalau lebat hujannya, sudah pasti kelas bubar. Karena bangku dan kursi ditarik ke sana kemari. Jadinya tak ada pelajaran. Gurunya mojok di kelas, dan kita ngerumpi di kelas. Meski se[ertinya guru prihatin dengan kondisi ini kita malah senang, karena tak ada pelajaran. Dan kalau sudah begini, sudah pasti halaman sekolah pasti banjir. Sepatu dicopot dan tas diangkat tinggi-tinggi. Tapi kita enjoy saja, malah bermain dengan menyepakkan air ke teman-teman lain khususnya ke teman cewek. Waktu 6 tahun terasa cepat. Di masa SD ini banyak memory yang tetap saya kenang mungkin sampai akhir hayat. Dan memory itu memory yang menyenangkan semua. Demikian juga sewaktu masuk SMP. Memang tak sebahagia sewaktu di SD. Tapi di SMP rasanya tetap gembira. Di sini saya banyak mencetak prestasi. Sewaktu di SMP inilah saya melepaskan trauma gedung yang jelek. Jadi waktu hujan lebat, dan pelajaran tetap berlangsung, saya jadi takjub melihatnya. Demikian juga kamar mandinya yang bersih dan harum. Jadi jauh sekali dengan keadaan dengan di SD. Kegembiraan ini mulai berkurang sewaktu menjejak bangku SMA. Waktu berseragam putih abu-abu ini, cobaan atau mungkin tepatnya penderitaan mulai saya rasakan. Yang terasa sekali waktu pertama kali menjejakkan kaki di sekolah adalah teman-teman saya yang rata-rata orang kaya. Sepertinya saya salah masuk sekolah. Sebagai putra sopir bemo, masuk sekolah itu hanya bikin ‘sakit hati’. Saya adalah 1 dari 6 orang yang ke sekolah dengan naik sepeda angin! Semuanya rata-rata naik sepeda motor. Bahkan bermobil. Ini sudah bikin nelangsa. Nelangsa terberat adalah saya kena sakit hepatitis. Sakitnya ini justru pas saya melewati ‘sweet seventeen’. Namun di SMA inilah saya mulai banyak mencetak prestasi dengan skala lokal, regional bahkan nasional. Di sini saya sudah mulai merasakan mendapat uang dari keringat sendiri. Luar biasa! Dan puncaknya cobaan ini waktu masuk bangku kuliah. Di bangku kuliah ini, saya harus membiayai sendiri, karena orang tua sudah tak mampu membiayai. Pilihan dari orang tua, terus kuliah tapi biaya sendiri atau berhenti kuliah tapi tak akan dimarahi. Rasanya saat diberitahu hal ini, langit seakan runtuh. Berhari-hari saya murung, tak tahu harus bagaimana. Ini mungkin terjadi waktu semester ke-3. Alias dapat dibilang masih awal kuliah. Keprihatinan ekonomi inilah yang membuat saya merasa di S1 inilah saya bersekolah paling prihatin. Keberhasilan menyelesaikan kuliah S1 ini bagi saya tak sekedar prestasi. Tapi sebuah karunia luar biasa yang diberikan oleh Allah. Berlebihan? Mungkin bagi orang lain, iya. Tapi bagi saya, itu memang benar. Betapa saya berangkat ke kampus dan tempat-tempat lain harus naik sepeda angin. Kadang kalau sepeda rusak, saya harus jalan bahkan berlari bila tak mau terlambat. Untuk naik bemo bahkan bis kota sekalipun, yang waktu itu ongkosnya hanya 50 perak, saya tak mampu. Hampir setiap hari saya puasa. Bukan karena apa-apa. Tapi karena tak punya uang untuk beli makan siang atau sekedar jajan. Kalau harus terpaksa makan di kampus, saya minta Ibu untuk membungkuskan makanan dari rumah. Bekal ini saya simpan di tas, dan saya bersembunyi makan di kelas-kelas yang kosong. Jadi jelas saya hampir tak punya buku. Bahkan sekedar urunan untuk tugas kelompok, saya tak mampu. Kalau memang harus urunan, saya sering kucing-kucingan dengan teman yang menagih. Demikian terus keadaan seperti ini. Mulai terasa lega saat saya mendapat beasiswa. Bahkan lalu mulai lepas keprihatinan ini, setelah saya bisa mendapat penghasilan rutin. Yakni dengan memberikan pelajaran privat ke siswa SD, SMP dan SMA. Ini mungkin terjadi 4 semester terakhir sebelum lulus. Tapi konsekuensinya nilai saya terus menurun. Kenangan-kenangan nelangsa ini, saya pikir hanya terjadi di S1. Namun setelah kuliah S2, cerita-cerita nelangsa ini muncul juga. Meski tak separah dan semenderita seperti di S1. Namun trauma ini seakan menghantui saya waktu kuliah di S2. Seakan-akan hantu S1 muncul di S2. Tapi situasi dan kondisi yang berbeda, termasuk juga kondisi jiwa saya yang berbeda dengan dulu, menjadikan saya lebih tabah melewati masa-masa kuliah S2. Kalau sekarang saya dapat melewati itu semua, terasa begitu luar biasa. Kalau saya menoleh ke belakang, menjadikan saya bersyukur dengan apa yang saya raih kali ini. Apapun itu. Alhamdulillah. [PURI, 9/3/2012 siang] ~~~ Tulisan iseng ini hanya memperingati, ternyata saya bisa melewati juga keprihatinan babak II ini. Tujuan tulisan ini untuk memberi semangat anak-anak saya untuk selalu belajar. Semoga kelak Zidan dan Zelda membaca tulisan ini. Tulisan ini bisa anda ikuti di serial ‘Master of Facebook’. ~~~ *Mochamad Yusuf adalah magister komunikasi yang meneliti tentang Facebook. Karenanya dijuluki temannya sebagai master Facebook. Dia adalah online analyst, pembicara publik, host radio, pengajar sekaligus praktisi TI. Aktif menulis dan beberapa bukunya telah terbit. Anda dapat mengikuti aktivitasnya di personal websitenya, http://yusuf.web.id atau di Facebooknya, http://facebook.com/mcd.yusuf.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline