Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Yulian Mamun

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Antasari Banjarmasin

Prahara Jilbab Paskibraka Belum Happy Ending!

Diperbarui: 19 Agustus 2024   11:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pembawa bendera bercadar UIN Antasari. Sumber: Website UIN Antasari

Pagi di hari kemerdekaan 17 Agustus, saya ikut hadir dalam apel peringatan HUT RI di kampus UIN Antasari Banjarmasin. Turut hadir juga 1.797 mahasiswa baru yang akan memulai kegiatan pekan orientasi Pengenalan Budaya Akademik Kampus  (PBAK). Pemandangan menarik adalah bahwa mahasiswi pembawa baki bendera memakai cadar. Iya, cadar! Penutup wajah wanita yang beberapa waktu lalu sempat disalahartikan dan difitnah dengan kejam sebagai simbol radikalisme beragama. Anggota pasukan pengibar bendera putri yang lain pun memakai jilbab dan rok panjang. Tidak mengurangi ketangkasan mereka hingga sang merah putih berkibar gagah di pucuk tiang.

Sambil menghormat ke bendera diiringi paduan suara kampus, pikiran saya diisi berbagai macam hal. Sekelebat mengenang para pahlawan yang berjuang demi kemerdekaan. Sekelebat lagi pikiran saya mengingat pilu para Pengibar Bendera Pusaka yang sempat disuruh melepas jilbab saat upacara kenegaraan. Meski polemik sudah berakhir, tapi tetap saja saya tidak habis pikir. Kenapa lembaga yang bertugas menjaga marwah Pancasila, justru melarang ekspresi keagamaan warga negara?

Judul tulisan ini merespon artikel di Detik.com, yang bertajuk 'Happy Ending' Polemik Larangan Jilbab Paskibraka di IKN'. Memang benar, dalam berita yang ditulis oleh tim redaksi DetikNews tersebut, para anggota putri Paskibraka (Pasukan Pengibar Bendera Pusaka) dapat kembali menggunakan jilbab saat bertugas. Jika diibaratkan sebuah cerita, tokoh utama merasakan akhir kisah yang membahagiakan setelah bergelut dalam berbagai konflik. Tapi perlu diingat, perubahan kebijakan terjadi setelah prahara ini diberitakan oleh jurnalis, dikomentari para tokoh, dan dikecam warganet. Apa yang terjadi jika semua diam atau tidak berani bersuara?

Bagi bangsa Indonesia, ini belumlah happy ending. Bisa jadi, peristiwa ini hanyalah sekelumit kecil dari fenoneman gunung es ancaman terhadap Bhinneka Tunggal Ika di masa yang akan datang. Kejadian ini bisa berulang kembali. Ironisnya, bahaya red flag ini justru berasal dari negara, dan pemerintah yang mengelola negara karena PIP kan bertanggungjawab kepada Presiden, kepala negara sekaligus kepala pemerintahan RI.

Seperti yang ramai dibicarakan, perayaan HUT RI ke-79 di IKN dibumbui oleh kisruh mengejutkan: anggota Paskibraka putri yang kesehariannya berjilbab, harus melepaskannya saat mengibarkan bendera. Alasannya adalah demi menjaga kesakralan, wibawa, identitas, dan kedisiplinan Paskibraka. Keputusan ini berasal dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila yang bertugas membawahi Paskibraka. Ketua BPIP berdalih bahwa hal ini sudah tertuang dalam peraturan.

Publik mendesak BPIP mencabut Keputusan Nomor 35 Tahun 2024 yang dinilai menjadi penyebab kontroversi. Keputusan ini mengatur standar pakaian, atribut, dan sikap tampang Paskibraka. BPIP melalui ketuanya memang telah meminta maaf dan mengizinkan Paskibraka putri mengenakan jilbab. Para pakar mendesak agar Peraturan BPIP No. 35 Tahun 2024 tidak lagi digunakan dan kembali menggunakan Peraturan No. 3 tahun 2022 yang mengakomodasi penggunaan ciput hitam bagi Paskibraka putri berhijab.

Minta maaf saja tidak cukup Ferguso! Perlu pengusutan lebih lanjut. Kenapa bisa terjadi? Siapapun yang mendalangi, pasti dia---atau organisasi? Entahlah---adalah si paling Pancasila yang anti sila pertama dan mengkhianati semboyan "Bhinneka Tunggal Ika".

Polemik ini juga menyoroti pentingnya konsistensi dalam penerapan aturan. Perubahan yang tiba-tiba dan tanpa alasan yang jelas dapat memicu ketidakpercayaan publik terhadap lembaga negara. Selain itu, isu ini juga menegaskan kembali wajibnya penghormatan terhadap keberagaman dan kebebasan beragama di Indonesa.

Mengapa terjadi perubahan dalam kebijakan ini? Apakah ada pertimbangan lain di balik keputusan kontroversial ini? Atau mungkin ada interpretasi yang berbeda terhadap aturan yang ada? Publik berhak mendapatkan penjelasan yang transparan dan memuaskan. Rakyat kan strata tertinggi dalam bernegara. Jangan sampai istilah "demokrasi dari dan untuk rakyat" hanya sekadar semboyan palsu tanpa makna. Semboyan sebenarnya adalah "demokrasi dari dan untuk sekelompok golongan elit saja".


Sumber Foto Website UIN Antasari

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline