Louis Baudoin tidak merasa canggung berada di antara para pemuda-pemudi kulit hitam. Dia tampak menikmati joget dan bercengkerama meski sosoknya yang berkulit putih terlihat aneh dan jadi minoritas di ruangan itu. Momen itu terjadi sekitar tahun 1965 saat krisis rasial warna kulit masih melanda masyarakat Amerika Serikat. Krisis rasial ini memang makin memudar seiring gencarnya tuntutan hak asasi manusia dan persamaan status di era modern.
Baudoin ikut nongkrong bersama kawan-kawannya yang mayoritas kulit hitam merayakan keberhasilan tim basket kampusnya di kejuaraan nasional NCAA. Sosok berkacamata itu melahap sepiring makanan dengan nikmat. Dalam benaknya ia sendiri tidak tahu apa yang sedang disantapnya. Mungkin ini adalah salah satu makanan khas kelompok Afrika-Amerika, yang jelas rasanya begitu lezat dan belum pernah dirasakannya selama ini.
Saat memasuki suapan terakhir, tiba-tiba raut wajahnya berubah hambar saat temannya sesama anggota tim basket berseru sambil terbahak, "Tahu gak, apa yang kamu makan? Itu terbuat dari usus babi!"
Adegan dalam film Glory Road (2006) itu membuat saya baru tahu bahwa di Amerika yang sekarang terbilang negara maju makan jeroan hewan bukan sesuatu yang lazim. Saya tidak membicarakan babi yang memang haram dikonsumsi oleh muslim seperti saya. Andai usus babi yang jadi bahan utama sepiring kuliner bernama chitterlings itu diganti usus sapi, tetap saja Baudoin akan kaget.
Adegan Baudoin makan ada di menit 1:16.
Setiap bangsa memiliki tradisi tersendiri terkait konsumsi jeroan ini. Meski ada anggapan bahwa jeroan memiliki kandungan gizi yang buruk, tidak semua memandang jeroan nirmanfaat. Misalnya ada tradisi usus sebagai pembungkus makanan seperti sosis di Barat dan mumbar di Timur Tengah. Kultur kuliner di Asia dan Afrika cukup akrab dengan jeroan. Namun sepertinya bangsa kita adalah salah satu dari kalangan yang mengangkat harkat martabat jeroan mendekati status daging pada umumnya.
Kita ambil contoh seekor ayam, bagian tubuhnya bisa disulap jadi makanan. Dari ujung kepala, leher, usus, hati, ampela hingga ceker. Yang paling fenomenal---bagi bangsa asing---mungkin adalah segumpal daging berlemak tempat tumbuh ekor di bagian pantat alias brutu dalam bahasa Jawa. Begitu pula hewan lain seperti sapi. Semakin ekstrim organ tubuhnya, semakin enak. Otak, lidah, moncong (cingur), paru, lambung (babat), usus (iso), ekor (buntut), hingga daging kenyal transparan di bagian kaki (kikil) adalah kudapan yang menggugah selera.
Mentalitas memanfaatkan jeroan inilah tanpa sadar yang membentuk pribadi Indonesia yang kreatif dan tangguh bertahan di tengah kerasnya hidup. Kiai Mas Mansoer dan Kiai Abdurrahman Wahid, dua tokoh nasional kebanggaan Indonesia adalah contoh bagaimana jeroan menolong hidup mereka saat belajar di luar negeri.
Limbah restoran favorit Mas Mansoer
Pahlawan nasional ini berangkat ke Mesir dari Mekkah pada medio 1910an. Saat itu bersamaan dengan krisis politik yang berlangsung di wilayah Hijaz, Arab Saudi. Krisis politik membuat banyak para pelajar asing yang menuntut ilmu di Mekkah pulang ke negaranya.
Alih-alih pulang ke Indonesia, Mansoer justru memilih melanjutkan pendidikan ke Mesir. Sayangnya ia tidak mendapat izin dari KH. Mas Achmad Marzoeq, ayahnya. Kesultanan Mesir ketika itu memang berada di bawah kendali Inggris. Tidak heran nilai-nilai Barat yang sekuler banyak memengaruhi kondisi sosial masyarakat. KH Marzoeq khawatir putranya tidak serius belajar dan hanya ingin pelesir dan bersenang-senang. Pada masa itu citra Mesir memang tidak sereligius Kota Mekkah dan Madinah yang jadi pusat pendidikan Islam. Padahal di Ibu Kota Mesir, Kairo terdapat Universitas Al Azhar yang menelurkan para ulama hebat.