Sebelumnya saya sudah menulis tentang review Aroma Karsa yang sudah saya baca.
Kemarin tanggal 22 April 2018 saya sangat antusias mengikuti acara Gathering Aroma Karsa yang diselenggarakan oleh Bentang Pustaka. Berlokasi di IFI-LIP Yogyakarta sudah dipenuhi oleh penggemar seorang Dewi 'Dee' Lestari, termasuk saya.
Acara dimulai pukul 10.00 WIB dan sudah mulai padat oleh penggemar Dee satu jam sebelum acara. Karena acara ini gratis, kuotanya tentu dibatasi. Peserta yang pertama tentunya oleh peserta Digital Tribe yang menikmati Aroma Karsa secara digital cerita bersambung kemudian diikuti oleh Priority Pass dan peserta reguler.
Tidak membuat waktu mengulur sia-sia, sebelum acara dimulai ditampilkan video berdurasi singkat, bagaimana terciptanya Aroma Karsa. Bagaimana ketika Dee melakukan riset ke Bantar Gebang, bertemu dosen di UI untuk menemukan bahasa Jawa Kuno yang nyaris punah dan jarang sekali digunakan serta sejarah Majapahit, kemudian ikut kursus meracik parfum di Singapura, bertandang ke Mustika Ratu dan mendaki Gunung Lawu yang ke semuanya merupakan bagian penting dalam novel Aroma Karsa.
Sosok-sosok yang ditunggu kemudian muncul bersama Reza Gunawan, suami Dee Lestari. Keduanya menampilkan musikalisasi puisi yang keren. Penonton terhanyut dan tersihir kedalam alunan melodi dan drama musikalisasi tersebut yang ternyata merupakan naskah novel Aroma Karsa Dee Lestari.
"Karena sekali Banaspati, tetap Banaspati." Begitu salah satu kutipan dalam naskah novel Aroma Karsa. Akhirnya, riuh tepuk tangan penonton menyambut kehadiran Dee Lestari memasuki panggung untuk memulai acara Talk Show. Dee Lestari terlihat sangat cantik dan anggun dalam balutan dress batik berwarna merah muda bermodel cheongsam.
Seorang Dewi Lestari juga menjelaskan bagaimana awal mulanya ia terinspirasi membuat novel Aroma Karsa. "Biasanya novel fiksi itu digambarkan melalui visual, kenapa tidak kita gambarkan melalui dunia aroma juga? Saya selalu membayangkan bagaimana sewaktu kecil saya mencium aroma rumput ditebas, atau aroma makanan yang akan saya makan. Dari situlah awal mulanya muncul sosok Jati Wesi yang memiliki hidung tikus," tutur Dee Lestari.
Saat saya membaca Aroma Karsa dan di akhir cerita saya sempat bertanya-tanya apakah ini nyata? Bukan fiksi? atau hanya imajinasi? Pertanyaan ini muncul berulang kali dalam benak. Melalui acara Gathering Aroma Karsa saya menemukan jawabannya.
Aroma Karsa adalah cerita fiksi. Riset yang begitu lama kurang lebih 9 bulan, Dee Lestari berhasil menggodok Aroma Karsa menjadi cerita fiksi serasa non fiksi yang luar biasa. "Menjahit fakta ke dalam fiksi merupakan sebuah seni tersendiri. Seberapa besar kadar fakta yang mampu saya jahit ke dalam fiksi tersebut akan meningkatkan kadar kepercayaan dan menjadi masuk akal bagi pembacanya. Bagi saya, cerita fiksi yang berhasil adalah cerita yang mampu melenturkan batas antara fiksi dan fakta yang sangat terasa nyata dan menghanyutkan." Ungkap Dee Lestari.
Sebelum acara ditutup ditayangkan juga video berdurasi singkat yang menayangkan beberapa perdebatan aktor dan aktris Indonesia yang memperebutkan Posisi Jati Wesi, Tanaya Suma dan Arya Jayadi. Ada Dian Sastro, Reza rahadian, Chiko Jeriko, Adinia Wirasti dll. Nah, pada setuju
nggak nih kalau Aroma Karsa jadi film? Siapa pemerannya? Kalau aku sih setuju dan siap menanti filmnya.
Acara ditutup dengan book signing yang masing-masing peserta boleh membawa maksimal duabuku. Sesi tandatangan dan foto bersama berjalan tertib dengan antrian yang cukup panjang. Karya Dee Lestari, Aroma Karsa tentunya patut diacungi jempol. Kepiawaian Dee merangkai fiksi serasa fakta ini luar biasa, karena saya yakin tidak sembarang orang mampu melakukannya. Seni dalam pekerjaan menulis dan merangkai kata yang menawan dalam Aroma Karsa menyedot diri dan pikiran pembaca dalam imajinasi yang nyaris nyata padahal fiksi.
NB: Semua foto adalah dokumentasi pribadi