Lihat ke Halaman Asli

Mita Karunia

Menulis untuk menyapa semesta

Sesuatu dari Kenaikan Harga Elpiji 12 Kg

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Artikel yang saya tulis ini terinspirasi dari artikel rekan kompasianer, yakni Ibu Ira Oemar dan rekan-rekan yang lain yang masih membahas tentang yang sama.

Ini bukan pertama kalinya rakyat merasakan imbas dari ulah pemerintah tentang isu-isu kenaikan harga dalam negeri. Dari tahun ke tahun ulah pemerintah telah berlaku dalam realisasinya. Apalah daya rakyat untuk menentang hal tersebut? Tidak ada. Beberapa tahun lalu kenaikan BBM yang sangat ditentang oleh masyarakat dengan demo besar-besaran tidak membuahkan hasil. Hanya nihil. Faktualnya kini juga telah direalisasikan dengan berbagai alasan.

Penghujung tahun 2013 lalu, merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar juga menjadi keadaan pahit yang harus dialami bangsa Indonesia dan rakyatnya. Sekarang kedatangan tahun 2014 menjadi kado tahun baru yang terpahit untuk kesekian kalinya yang harus dirasakan oleh rakyat Indonesia sendiri. Ketika resolusi yang dipanjatkan tak lagi menyatu dengan kondisi yang diharapkan, isu kenaikan harga kembali menerpa kehidupan rakyat di Indonesia. Apa lagi kalau tidak bukan, kenaikan harga elpiji bertabung 12 kg. Kenaikan harga elpiji bertabung 12 kg ini tidak perlu mengagetkan rakyat Indonesia. Anggap saja ini adalah hal yang lumrah, atau mungkin suatu tradisi yang sering terjadi di tanah air. Sebab, menilik sejarah, warna-warni dari berbagai macam sumber daya alam sudah terlalu sering mengalami kenaikan harganya yang bervariasi. Slogan yang digembor-gemborkan bahwa “Indonesia kaya akan alam” kini menjadi isapan jempol saja. Wong, ingin melengkapi dan memenuhi kebutuhan daging saja masih harus pakai import segala.

Di samping kenaikannya yang mencapai 50 % dan membuat rakyat menjerit tercekik. Kenaikan harga elpiji bertabung 12 kg juga meninggalkan banyak efek samping bagi rakyat Indonesia. Terutama Ibu rumah tangga. Karena, nyaris semua bahan makanan yang harus dikonsumsi terlebih dahulu melalui proses memasak. Jangankan yang dimasak, yang hanya direbus saja perlu menggunakan bahan bakar, baru aman untuk dikonsumsi. Strategi dan giat-giat ibu rumah tangga untuk menyiasati penghematan dan tetap dapat memasak dengan gas elpiji masih diteruskan. Misalnya, dengan beralih ke tabung gas berukuran lebih kecil, yakni 3 kg. Namun, sadarkah kita ketika semua orang termasuk rakyat Indonesia mulai menggunakan tabung elpiji berukuran 3 kg juga berdampak pada kelangkaan dan sulit dicari. Bahkan bukan hanya ibu rumah tangga yang mengkonsumsi tabung elpiji berukuran 3 kg. Penjual keliling dengan gerobak dan makanan di warung pun menggunakan tabung elpiji berukuran 3 kg dalam penjualannya sehari-hari. Dampak yang lain, yang pasti terjadi lambat laun adalah kenaikan harga makanan siap saji alias langsung makan. Seperti donat misalnya, yang awalnya dengan harga Rp 2.500,00 per satuannya mungkin kini bisa menjadi tiga potong dengan harga yang dibandrol sekitar Rp. 10.000,00. Dapat dibayangkan jika semua makanan mengalami kenaikan harga yang serupa, rakyat semakin menjerit. Selain itu, mungkin ini adalah hal yang kurang begitu disadari.Apabila harga-harga makanan telah mengalami kenaikan, tentu saja harga-harga yang lain akan mengalaminya. Misalnya, untuk memenuhi kebutuhan pembelian gas elpiji sedemikian tinggi harganya, maka para penjual pakaian bisa saja menaikkan harga pakaian yang dijual. Dengan dalil alasan “kenaikan harga elpiji”. Tentu saja ini bisa dilogikakan. Semakin banyak pengeluaran rupiah, maka semakin besar pula pemasukan yang dibutuhkan. Lain lagi dampaknya, karena bisa saja para buruh dan PNS melakukan demo kenaikan gaji terkait dalil alasan yang sama “kenaikan harga elpiji”. Ayolah pemerintah, rakyat menanti jawaban karena sangat tidak adil, membebankan itu semua kepada kami, rakyatmu. Yang seharusnya disejahterakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline