Lihat ke Halaman Asli

Yohanes Patrio

Karyawan Biasa

Mencoba Menemukan Makna dalam Puisi Hujan Bulan Juni

Diperbarui: 6 Agustus 2024   08:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Puisi adalah salah satu jenis karya sastra yang sangat kompleks, terutama bagi para penikamat atau pembaca yang ingin mencari tahu tentang cerita apa dibaliknya. Sebab sebuah puisi atau karya sastra yang bagus, tidak hanya tampak dari frasa dan bait - bait yang indah, tapi juga sudah pasti mengandung makna dan pesan yang mendalam. Dan sebagai pembaca, terkadang kita sering kesulitan pada saat ingin menyelami pesan dan makna dari sebuah puisi. Apakah itu tentang cinta, perasaan, kehidupan sosial, alam semesta dan lain sebagainya. Satu - satunya cara untuk menemukan makna sesungguhnya dari sebuah karya sastra adalah kita harus memperoleh wawasan langsung dari sang penulis atau pengarang. Dan bagi saya, ini cukup sulit dilakukan.

Namun, sebagai pembaca atau penikamt sastra, kita sebenarnya bebas memiliki pemahaman dan interpretasi tersendiri terhadap suatu karya. Jadi, tidak harus sama atau bahkan takut tidak selaras dengan pemahaman dan pemaknaan orang lain atau bahkan dari sang penulis itu sendiri. Setidaknya ini didukung oleh sebuah pendapat menarik yang mengatakan seperti ini; " ... Suatu karya sastra adalah milik sang pembaca. Penulis berhak menulis apapun, namun, bagaimana karya itu dinilai atau dimaknai, itu sudah bukan urusan bagi penulis". 


Salah satu puisi atau karya sastra yang sangat terkenal yang pernah terbit di Indonesia adalah 'Hujan Bulan Juni ' karya  sastrawan ternama, Sapardi Djoko Damono. puisi ini diterbitkan  pertama kali sebagai buku kumpulan puisi di tahun 1994 oleh Grasindo yang berisi sejumlah 102 puisi yang ditulis semasa rentang waktu 1964-1994. 

Sedikit yang saya ketahui tentang beliau yakni selain sebagai sastrawan, ia juga adalah seorang dosen. Masa kecilnya berada dalam situasi perang. Pun hingga beliau tumbuh dewasa, kondisi lingkungan dan masyarakat di sekitarnya relatif tidak aman, kebebasan berekspresi dibatasi apalagi untuk para pemikir, cendikiawan, atau mereka yang lantang mengkritik pemerintahan orde baru melalui karya, termasuk sastra. Untuk ini, teman - teman kompasianer bisa cari tahu sendiri tentang biografi dan riwayat hidup beliau, karena ini terkait dengan konteks yang bisa membantu kita dalam proses pemahaman suatu teks atau puisi. Namun, mengingat saya tidak memiliki kapasitas dalam bidang tersebut, maka saya tidak perlu membicarakannya lebih jauh. Lagi pula tulisan ini hanya berisi pemaknaan pribadi saja. Jadi, yang saya angkat adalah konteks atau hal - hal yang terkait dengan saya secara pribadi.

Tentu banyak artikel diluar sana yang sudah menceritakan tentang makna dibalik puisi ini, yang mayoritas berpendapat bahwa puisi ini menggambarkan tentang cinta, suasana romantis ataupun tentang kerinduan. Saya pribadi, sangat setuju dan terbuka terhadap berbagai interpretasi dan pemaknaan seperti ini, apalagi jika itu datang dari orang yang memang berkapasitas dalam bidang tersebut.

Meski demikian, saya juga tentu memiliki pemaknaan tersendiri terhadap puisi ini. Dan inilah yang coba saya bagikan pada sesi cerita kali ini. Saya akan mencoba mengungkapkan lapisan makna dari puisi hujan bulan juni dari sudut pandang pribadi. Dan tentu saja, ini sangat bergantung pada latar belakang, konteks sosial dan budaya, serta pengalaman dan refleksi saya secara  pribadi.

Saya tidak berharap, tulisan ini dijadikan panduan atau referensi, sebab sekali lagi, ini hanyalah tafsiran pribadi yang sangat subjektif dan sangat bergantung pada latar belakang serta pengalaman pribadi. Daripada pengantarnya panjang lebar, maka mari kita mulai saja.  

Konteks sosial dan budaya yang terkait serta pengalaman pribadi.

Sesekali, jika memiliki waktu luang, berkunjunglah ke kampung halaman saya. Kelurahan Mandosawu, Kecamatan Lamba Leda Selatan, Kabupaten Manggarai Timur, NTT. Pergilah pada musim panen, yaitu pada periode antara bulan mei, juni, juli dan agustus. Jika beruntung, Anda akan menjumpai wajah - wajah bahagia dengan senyum sumringah. Mereka adalah ibu - ibu dan bapak - bapak yang akan berangkat ke kebun. Ada yang pergi panen padi dan jagung, petik kopi dan juga cengkeh.

Jika lebih beruntung lagi, Anda juga akan menjumpai anak - anak SD yang sedang dalam jam istirahat sekolah. Mereka berbondong - bondong pergi ke warung ( dulu semasa saya SD adalah warung atau kiosnya om Nabas ) dengan memperlihatkan wajah ceriah dan penuh semangat. Tidak peduli jalanan di desa itu yang beberapa bagian lubang dan berdebu. Mereka tetap bahagia, sebab pagi tadi, mereka dibekali uang jajan yang lebih dari orang tuanya. Sebab mungkin, hasil panen mereka melimpah. Dan yang paling penting, hari itu tidak turun hujan sehingga proses panen berjalan lancar.

Namun jika tidak beruntung, Anda akan menjumpai hal sebaliknya, atau malah tidak menjumpai siapa - siapa selain gumpalan asap beraroma tembako yang keluar dari dapur beberapa dukun ternama di desa itu. Ia mungkin sedang melangsungkan ritual  toka usang, sebuah ritual yang dilakukan untuk mencegah turunnya hujan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline