Lihat ke Halaman Asli

Yohanes Patrio

Pekerja Harian Lepas

Menemukan Kebahagian Dalam Sebuah Hubungan

Diperbarui: 18 Mei 2024   16:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam beberapa hari belakangan, topik tentang kebahagian selalu hangat untuk diperbincangkan di berbagai media sosial. Perdebatan sering muncul. Puluhan pertanyaan esensial lengkap dengan argumen yang tak terbantahkan. Apa itu kebahagian? Apakah kebahagian itu perlu dicari atau diusahakan? Ataukah kebahagian itu ada dalam diri masing - masing setiap orang dan tidak perlu dicari keluar?.

Beberapa hal diatas menjadi sangat wajar jika akhirnya orang pertanyakan. Sebab salah satu contoh yang tidak jarang kita lihat dalam masyarakat sekitar kita atau yang sering diumbar di media - bahkan secara khusus adalah, orang sering mengaitkan kebahagian dengan relasi yang harmonis dengan orang lain. 

Namun kenyataanya, tidak jarang pula kita melihat, seringkali hubungan asmara atau pertemanan dapat menjadi sumber atau pemicu dari ketidakbahagiaan seseorang. 

Stres karena pengkhianatan, perlakuan kasar, atau tuntutan yang tidak wajar dalam hubungan dapat memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap kesejahteraan emosional seseorang. Ketidakstabilan dalam hubungan kerap menciptakan ketegangan yang berlarut-larut, merusak harga diri, dan mengganggu keseimbangan psikologis.

Well,,saya tidak perlu banyak berkoar - koar tentang itu sebab, bagaimanapun juga,  kita tentu memiliki preferensi masing -masing tentang hidup dan kebahagian terutama dalam sebuah hubungan ( asmara ). Sehingga tidak ada jawaban mutlak untuk pertanyaan - pertanyaan filosofis semacam itu, sekalipun ribuan dalil selalu disuguhkan.

Namun demikian, saya rasa diskusi ini tetap menarik karena menghadirkan kesempatan bagi kita semua untuk merenungkan arti sejati dari kebahagian dalam kehidupan kita, serta untuk mengeksplorasi berbagai cara untuk mencapainya, baik melalui pencarian aktif maupun penemuan dalam diri kita sendiri. 

Dan untuk memperkaya itu semua, tidak rugi rasanya jika kita menilik dan mencoba memahami berbagai pandangan orang dan pemikiran tertentu dalam memaknai hidup dan kebahagian.

Ada sebuah cerita menarik yang datang dari negeri Athena ribuan tahun lalu. Socrates dengan istri mudanya, Xanthippe. Seorang perempuan Athena yang berumur 40 tahun lebih muda dari Socrates. 

Ia dikenal  sebagai seorang wanita bertabiat cerewet, ketus, kasar, pemarah dan pelaku KDRT. Menurut cerita (kesaksian Plato, muridnya Socrates), Xanthippe sering ngelampir dengan alis mata diangkat, mata menyala dan menuding - nuding tidak jelas kepada sang suami, Socrates.

Konon katanya, Socrates menganggap bahwa berumah tangga adalah bermeditasi, sehingga menikahinya semata - mata untuk melatih mental, kesabaran dan pengendalian diri. 

Ketika marah, sang istri tidak segan menyirami Socrates dengan air cucian, bahkan ketika sang suami sedang mengajar didepan murid - muridnya. Namun si Mbahnya filsafat ini dengan entengnya bilang " setelah petir, turunlah hujan"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline