"Gitu aja baper" Kalimat tersebut nggak asing bahkan sering kita dengarkan, baik sebagai candaan atau memang ingin mengingatkan.
Baper, merupakan singkatan dari bawa perasaan. Seseorang yang cenderung sensitif dan mudah merasa terbawa perasaan.
Di akhir tahun lalu, saya dan seluruh rekan kerja diminta untuk saling menuliskan 1 kata yang menggambarkan diri masing-masing rekan dari sisi positif dan negatif. Jadi setiap orang mendapatkan 2 kerta dari satu orang, yang satu opini positif dan yang satu opini negatif.
Saat menuliskan opini positif tentang seseorang, rasanya mudah banget. Tapi pas harus menuliskan opini negatif tentang seseorang rasanya agak mengerikan, karena jujur merasa tidak pantas untuk memberikan komentar kurang baik kepada orang lain.
Sebisa mungkin, saya berkomentar terkait kinerja atau cara orang tersebut dalam bekerja, bahkan ada beberapa yang saya enggak tau dimana cela nya dia, maka saya tulis "tidak ada". Namun saya cukup kaget, ketika mendapati kertas opini buat saya, sisi negatif " Baperan" Saya sejenak tertegun karena kertas nya 75% berisikan kata tersebut.
Namun, saya coba netralisir dan flashback apa sih penyebab saya di cap baperan kemudian seberapa parah tingkat baperan saya? Saya meluangkan waktu di sepertiga malam, mengoreksi diri sendiri. Dalam hening kita mampu berpikir lebih jernih dan menangkap segala hal diluar kendali. Penilaian orang lain tidak dapat kita kendalikan.
Hal-hal yang sifatnya dari luar, tentu tidak bisa kita kendalikan. Namun saat menerima ada baiknya kita menelaah juga. Mana yang merupakan masukan positif dan mana yang merupakan masukan negatif dan sebetulnya sangat tidak sesuai dengan fakta.
Bahkan, saya pun suka memastikan segalanya berdasrkan fakta, maka beberapa kali mengikuti test hasilnya saya bukan tipe Plegmatis. Secara pola pikir pun rasanya jarang bawa perasaan. Kecuali rasa saya terhadap seni memang lumayan, jujur suka banget sama yang namanya visit ke museum, menyaksikan pertunjukan seni, terutama kisah pewayangan. Suka puisi, pantun dan ragam cerita di novel.
Dalam beberapa case memang sangat sensitif, apalagi jika ada keluarga sakit atau keluarga meninggal. Saya pasti akan fokus ke perasaan tentang situasi dan kondisi tersebut, larut hanyut merasakan pedih. Jika ada teman kesulitan pun saya mudah menangis, merasa lebih empati. Mungkin terlihat cengeng juga ya, mudah menitikan air mata.
Apa sih penyebabnya dan apakah saya berusaha merubahnya? Tentu saja. Jaman SD sampai kuliah, saya tidak terlalu mudah bergaul dengan sesama perempuan, kaya jarang ada yang klop. Hasilnya lebih suka gabung sama temen laki-laki. Semester 6 saya mulai merubah pola pikir dan mencoba lebih memahami para perempuan, berteman dengan cukup baik dengan beberapa mahasiswi bahkan rekan kerja, karena saya bekerja sambil kuliah.