Lihat ke Halaman Asli

Hety A. Nurcahyarini

www.kompasiana.com/mynameishety

Doa Ramadan dan Kenangan Suka Cita

Diperbarui: 28 April 2021   22:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pexels.com

Di usia saya yang ke-33 tahun ini, satu hal yang enggak pernah saya berhenti syukuri adalah kesempatan untuk merasakan Ramadan di masa kecil dengan total. 

Kata 'total' di sini bukan berarti saya adalah anak lulusan sebuah pondok pesantren dengan hafalan sekian kitab dan ayat dalam waktu sekian tahun. Bukan itu, melainkan saya bersyukur orang tua saya memberikan saya 'izin' untuk melewati bulan Ramadan di tengah masyarakat dengan berbagai tradisinya. 

Saya enggak dikurung atau dilarang untuk ikut ini-itu, TPA (Taman Pendidikan Alquran), tarawih, takbiran, buka puasa, all. Termasuk di dalamnya yang hanya 'have fun' dan enggak bernilai ibadah seperti jalan-jalan bersama teman-teman saya sehabis subuhan sampai ke desa tetangga dengan masih menggunakan mukena. 

Saya bisa sampai di rumah pukul 07.00 pagi di saat semua orang di rumah baru bersiap berangkat kerja. Kalau sekarang saya yang versi dewasa ini, yang ada, habis subuhan, kembali merapatkan barisan bersama selimut dan bantal.

Salah satu nasihat yang selalu diulang-ulang mama kepada saya saat bulan Ramadan adalah jangan dekat-dekat, jangan main, bahkan membeli mercon dan petasan. Membeli kembang api pun harus izin dengan berbagai pertimbangan. 

Dulu, sewaktu saya kecil, petasan dan Ramadan adalah seperti ada gula ada semut. Banyak anak-anak yang memainkannya. Banyak juga berita tentang anak-anak yang terluka karena petasan. Mama khawatir saja. Saya dan teman-teman saya memang suka ke sana-kemari. Mama takut kami dilempari oleh anak-anak iseng atau kami sendiri yang iseng untuk membeli petasan.

Begitulah, suasana Ramadan tahun 90-an yang melekat di perjalanan hidup saya. Kalau dipikir-pikir mungkin saya yang masih kecil dan awam menganggap Ramadan sebagai euforia, momentum dengan berbagai kemeriahan-kemeriahan yang di bulan-bulan sebelumnya enggak ada. Tapi siapa sangka ya, bisa terkenang-kenang sampai sekarang dewasa. Termasuk, salah satunya adalah doa.

Sebenarnya ada serentetan doa tapi ada satu doa yang menurut saya relevan dan selalu diulang-ulang bahkan sampai saya dewasa. Saya sempat mencurigai diri saya sendiri. Jangan-jangan, kalau di masa kecil saya hanya menghabiskan Ramadan di rumah, saya enggak pernah hafal bacaan doa ini. 

Maklum, di kampung saya dulu, salat tarawih antara anak-anak dan orang dewasa dipisah. Anak-anak salat tarawih di rumah salah seorang warga yang luas dan diimami oleh remaja masjid yang fasih bacaannya. 

Sedangkan, orang dewasa salat di masjid bersama orang dewasa lainnya. Salat anak-anak dan orang dewasa dipisah karena anak-anak hanya membuat gaduh saja, terlebih salat tarawih itu banyak rakaatnya. Di salat tarawih itulah, biasanya kami membaca doa dengan dilafalkan bersama. Keras dan nyaring. 

ALLAHUMMA INNAKA 'AFUWWUN TUHIBBUL 'AFWA FA'FU'ANNI

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline