"Being good is good for business."
Penyataan milik Anita Roddick, founder The Body Shop, sebuah produk perawatan tubuh dan kecantikan, ini selalu menarik untuk dikutip dalam menjelaskan isu keberlanjutan praktik bisnis (sustainable business). Apa yang dimaksud dengan praktik bisnis yang berkelanjutan?
Kita dapat dengan mudah menemukan berbagai versi jawaban lewat Google. Pada umumnya, bisnis yang berkelanjutan diartikan sebagai sebuah praktik bisnis yang mampu memberikan dampak yang baik/positif bagi perusahaan itu sendiri (profit), serta masyarakat (people) dan lingkungan (planet).
Bahkan, di Indonesia sendiri, sebagai bentuk apresiasi, ada ajang penghargaan khusus yang diberikan kepada perusahaan yang menjalankan praktik bisnis berkelanjutan, yaitu Sustainable Business Awards (SBA).
Lalu, apakah perusahaan itu (benar-benar) mampu memberikan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan di sekitarnya?
Layaknya prinsip ekonomi, bisnis dipandang sebagai sebuah aktivitas bermodal sumber daya terbatas namun dapat menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya.
Dengan tujuan yang 'tampak' sederhana tersebut, keuntungan yang besar dapat dicapai dengan segala cara tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan. Walaupun demikian, semuanya akan kembali lagi pada tujuan (purpose) dan nilai (value) yang dianut oleh suatu perusahaan dalam menjalankan bisnisnya.
Sampai di sini, saya membebaskan pembaca untuk mempunyai bayangan atau theatre of mind sendiri terkait praktik bisnis yang dijalankan oleh berbagai perusahaan, baik lokal maupun internasional, yang ada di Indonesia. Pembaca bisa mengambil contoh di lapangan, praktik bisnis yang sangat negatif namun bisa juga yang sangat positif sekalipun.
Perusahaan memang dipandang sebagai sebuah entitas yang mampu membuka lapangan pekerjaan, meningkatkan kesejahteraan, dan menggerakkan roda perekonomian.
Sehingga, keberadaannya dinilai sangat penting dalam pembangunan nasional di suatu negara. Walaupun terbukti berkontribusi besar, tetap akan muncul pertanyaan yang sama dan berulang, "Bagaimana perusahaan 'bertingkah laku' dalam mengolah sumber daya? Bagaimana perusahaan itu mengelola dampak bisnis yang ditimbulkannya?"
Di Indonesia sendiri, selain Undang-Undang No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dua pertanyaan di atas juga dapat dijawab dengan 'ISO 26000, Guidance on social responsibility', sebuah panduan yang menjawab tantangan dan isu tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR).
ISO 26000 merupakan suatu standar yang memuat panduan perilaku bertanggung jawab sosial bagi organisasi untuk berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan. Pedoman ini terdiri dari tujuh subjek inti tanggung jawab sosial organisasi, yaitu (1) tata kelola organisasi, (2) hak asasi manusia, (3) praktik ketenagakerjaan, (4) lingkungan, (5) prosedur operasi yang wajar, (6) isu konsumen, dan (7) pelibatan dan pengembangan masyarakat.
Lingkungan Sebagai Tanggung Jawab Sosial Organisasi