Lihat ke Halaman Asli

Penyuluh Perikanan (PNS) Disimpang Jalan: Satu Rumah, Satu Komando, dan Satu Aturan

Diperbarui: 17 Agustus 2016   17:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ricky Image

Pada tulisan saya sebelumnya, telah lengkap digambarankan tentang penyelenggaraan penyuluhan perikanan di daerah yang terkesan carut‐marut. Penyebab utama dari amburadulnya penyelenggaraan penyuluhan tersebut dikarenakan tupoksi penyuluh perikanan terdistorsi terlalu dalam ke ranah struktural (baca: peng‐SPJ‐an). Sementara, penyuluh perikanan didaerah, tidak mempunyai bargaining position untuk melemahkan, alih‐alih meniadakan distorsi tersebut.

Dengan telah diundangkannya UU No.23 Tahun 2014 tetang pemerintah daerah, penyelenggaraan penyuluhan perikanan menjadi urusan dan kewenangan pusat. Hal ini berdampak pada (rencana) pengalihan penyuluh perikanan daerah (baca: direkrut oleh daerah) menjadi penyuluh perikanan pusat (KKP). Bagai gayung bersambut, penyelesaian permasalahan penyelenggaraan penyuluhan didaerah yang carut‐matur, seakan menemukan titik terang.

Jikalau benar, penyuluh perikanan yang ada di daerah ditarik dan menjadi pegawai pusat, tentu akan menjadi bargaining position yang bagus, agar distorsi penyelenggaraan penyuluhan perikanan dapat dihilangkan. Garis komando penyelenggaraan penyuluhan perikanan akan semakin tegas. Efek dominonya, anggaran penyelenggaraan penyuluhan nasional dapat langsung dirasakan oleh penyuluh secara jelas, terarah, dan minim kebocoran. Jauh berbeda ketika penyuluh perikanan masih berada di daerah (baca: pegawai daerah). Sudah latah terjadi, bahwa anggaran penyelenggaraan penyuluhan seringkali terdialisis oleh kepentingan daerah.

Dengan dalih otonomi, daerah bisa dengan seenaknya membelokkan anggaran penyelenggaraan penyuluhan untuk kegiatan lain. Sudah bukan rahasia, bahwa kegiatan penyuluhan jarang menjadi sebuah prioritas disuatu daerah, sehingga anggaran kegiatan penyuluhan terkesan alakadarnya.

Munculnya angin segar akibat dari diundangkannya UU No 23 Tahun 2014 tidak serta merta disambut dengan suka cita oleh penyuluh daerah. Belum adanya mekanisme, prosedur, dan norma penyelenggaraan penyuluhan secara nasional disikapi secara hati‐hati oleh penyuluh di berbagai daerah.

Pengalaman masa lalu terhadap kebijakan baru yang seringkali tidak menguntungkan menyebabkan penyuluh daerah merasa was‐was. Kekahwatiran tersebut tentu bukan tanpa alasan, Berkaitan dengan wilayah binaan misalnya, selama ini, penyuluh perikanan yang berada di daerah kabupaten/ kota membagi habis wilayah binaannya hingga ke tingkat kecamatan dan desa jika memungkinkan. Penyuluh melakukan penggalian (identifikasi) potensi perikanan di wilayah hingga ke pelosok desa dalam satu atau beberapa kecamatan. 

Sementara, penyuluh yang berada di kabupaten/provinsi atau pusat, faktanya tidak mempunyai wilayah binaan secara spesifik sehingga sulit untuk memenuhi indikator kinerja penyuluhan perikanan yang salah satunya harus mempunyai wilayah binaan dan kelompok binaan pelaku utama/usaha kelautan dan perikanan.

Kondisi seperti ini tentu saja akan terjadi tumpang tindih pembinaan oleh penyuluh perikanan, fakta yang acap kali terjadi adalah saling klaim wilayah binaan oleh dua orang penyuluh perikanan PNS. Sehingga sering menyebabkan ketidakharmonisan hubungan antara sesama penyuluh.

Bersandar dari fenomena tersebut, prinsip egalitarian dalam penyelenggaraan penyuluhan nasional seyogyanya sudah diantisipasi jauh‐jauh hari paska diandangkannya UU No 23 Tahun 2014. Hal ini untuk menghindarkan friksi yang lebih dalam dan sekaligus untuk menghilangkan dikotomi istilah penyuluh perikanan pusat dan daerah. Mengingat, paska ditariknya penyuluh daerah ke pusat, saya berpendapat sudah tidak ada lagi dikotomi antara penyuluh pusat dan penyuluh daerah. Semua adalah penyuluh pusat dan bekerja berdasarkan payung hukum, hak dan kewajiban serta  aturan‐aturan yang sama.

Termasuk tentunya dalam hal penempatan dan pembagian wilayah binaan. Semua adalah penyuluh pusat yang harus bekerja dan ditempatkan pada wilayah binaan tertentu berdasarkan pendekatan wilayah administratif terkecil tanpa terjadi tumpang‐tindih pembinaan. Perlu dipertegas Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) tentang Penyelenggaraan Penyuluhan Perikanan Nasional dalam hal kewajiban seorang penyuluh untuk mempunyai wilayah binaan secara spesifik berdasar pendekatan kewilayahan administrasi terkecil (Kecamatan) dan berbasis potensi perikanan. Kewenangan pembagian wilayah kerja penyuluh perikanan bisa melalui kewenangan  koordinator penyuluh setempat dengan  mengedepankan prinsip‐prinsip egaliter.

Untuk itu, mau tidak mau, suka tidak suka, semua penyuluh tanpa kecuali harus dibawah satu komando secara berjenjang dari tingkat kabupaten hingga pusat dibawah kendali Unit Kerja yang menangani penyuluhan perikanan. Penyuluh perikanan harus satu rumah, satu komando, dan tidak tercerai berai! Terimakasih.

Sumber : K.K.K (Mantan Penyuluh Swadaya)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline