Lihat ke Halaman Asli

Memadukan Teknologi untuk Menyelamatkan Industri Musik yang Kolaps

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Tak bisa dipungkiri lagi, dunia musik nasional tengah dirundung awan mendung. Masalah silih berganti seakan-akan tak ada habisnya, mulai dari pengidolaan semu-musiman, pembajakan, penjiplakan lagu, gugat-menggugat hak royalti dari sebuah karya, dan masih banyak lagi. Hal ini mengubah gaya para pencipta lagu dan musisi dalam bermanuver di panggung musik nasional, karena pada jaman modern seperti saat ini, mereka sudah tidak bisa lagi mengandalkan rupiah yang dihasilkan melalui penjualan kaset. Ya, industri musik konvensional sudah mati sejak lama!

Musisi-musisi terbaik Indonesia; hingga yang paling jelek; dipaksa untuk tampil secara maraton di acara musik yang ditayangkan secara reguler dan live. Tak jarang pula mereka membawakan lagunya dengan cara lipsync, padahal mereka tahu persis bahwa melakukan lipsync ibarat menyayat nadi musikalitas profesional mereka sendiri menggunakan pisau yang berkarat. Tidak akan langsung mati memang, namun perlahan mereka akan terjembab hingga level terbawah. Kocek mereka menjadi tebal, namun dengan cara yang kurang elok jika dipandang melalui kacamata seni.

Padahal, jika dirunut lebih jauh, modernisasi itu sendirilah yang menyebabkan industri musik nasional kolaps. Lho, bagaimana bisa? Dengan hadirnya teknologi internet, semua orang bisa mendownload lagu secara gratis dan mudah melalui komputer, laptop, bahkan telpon genggam sekalipun. Hal ini juga didukung oleh kecanggihan telpon genggam masa kini yang memiliki fitur pemutar musik yang mutakhir dan tidak kalah canggih dari tape biasa, maka semakin terpuruklah kaset-pita diterjang masa. Timbul sebuah pertanyaan, mengapa kejadian ini tidak terjadi di industri musik internasional? Berbeda dengan mayoritas penduduk Indonesia, sebagian besar penduduk di negara-negara maju lebih apresiatif terhadap karya seni sekaligus juga anti terhadap pembajakan, sehingga penjualan album melalui kaset dan CD masih bisa menembus jutaan kopi.

Disini, penulis selaku pecinta musik Indonesia mengaku bersalah dan bimbang, karena disatu sisi ingin menyatakan kecintaannya terhadap buah karya para musisi, sementara disisi lain terdapat keengganan untuk mengeluarkan rupiah demi mendapatkan kaset aslinya. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan gagasannya tentang industri musik di era modern.

Memaksimalkan Layanan Internet dan Jasa Operator

Terdapat dua elemen utama dalam ide ngawur ini: operator telpon genggam dan layanan internet. Dengan memaksimalkan pengunaan layanan internet melalui modem atau telpon genggam, orang bisa dengan mudah mendownload lagu bajakan. Namun dengan menerapkan peraturan baru dan pemblokiran terhadap situs yang mengunggah lagu secara tidak resmi, diharapkan nantinya akan timbul kesadaran dalam diri kita untuk mendownload lagu yang resmi.

Sistematikanya adalah label rekaman yang menaungi para musisi bekerja sama dengan operator telpon genggam dalam penggandaan dan penjualan lagu secara digital. Operator telpon berperan sebagai alat tukar uang, dalam hal ini pulsa yang digunakan sebagai alat beli lagu digital. Jika satu album yang berisi sepuluh lagu dihargai sebesar Rp 20.000, maka satu copy lagu digital resmi bisa ditawarkan ke pasaran dengan kisaran Rp 3.000 hingga Rp 5.000. Rasa-rasanya, angka yang sepadan mengingat kita bisa memiliki satu copy lagu yang resmi, kualitas audio yang bagus dan juga tidak perlu repot-repot pergi ke toko musik.

Berikut ini adalah ilustrasi yang menggambarkan penggunaan sistem ini: Fitri, 16, seorang siswi kelas sebelas dari sebuah SMA Negeri di Demak mengidolakan band yang tengah bangkit dari kubur, NOAH. Jika menerapkan sistem ini, maka NOAH dibawah label Musica dapat menjalin kerja sama dengan para operator telpon. Selanjutnya tergantung layanan operator telpon manakah yang digunakan Fitri, dan melalui media apakah dia hendak ‘membeli’ satu copy asli dari lagu NOAH. Dia bisa memiliki satu copy asli dari lagu NOAH hanya jika memiliki pulsa diatas harga jual satu buah kopi lagu. Secara sepintas, ‘membeli’ melalui mobile internet lebih praktis, karena tidak perlu menggunakan layanan internet tambahan seperti modem agar bisa terkoneksi dengan layanan internet.

Meskipun demikian, masalah tidak lantas sirna begitu saja. Harus ada sebuah terobosan teknologi mutakhir dalam menciptakan aplikasi untuk memberikan proteksi terhadap copy lagu tersebut, sehingga tidak dapat berpindah tangan dengan cara disalin ke perangkat digital lainnya.

Cara ini terdengar usang memang. Beberapa waktu lalu, sebuah operator juga pernah merealisasikan gagasan semacam ini. Namun, barangkali karena hanya dilakukan satu arah dan tanpa dukungan dari pihak-pihak lainnya, maka usaha tersebut pun gugur di tengah perjalanannya.

Oleh karena itu, yang terpenting dalam merealisasikan gagasan ini adalah kesatuan yang kuat dalam membenahi industri musik nasional. Kita memerlukan suara bulat dari semua pihak agar impian terciptanya industri musik yang sehat bisa terwujud; memerangi pembajakan. Toh, kiranya nominal keuntungan yang diancang-ancangkan tidak bisa dikatakan sedikit. Sekali lagi, penulis tekankan, semua tergantung pada niat dan diri kita sendiri; maju dan mengikuti perkembangan jaman atau stagnan dan gugur dilahap waktu. Salam musik Indonesia yang berkualitas!

*Mohammad Iqbal Na’imy, mahasiswa tingkat akhir Fakultas Bahasa UNISSULA, pecinta musik

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline