Lihat ke Halaman Asli

Senapan Lee Enfield Tuk Tuwo (Cermin -66)

Diperbarui: 24 Juni 2015   23:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13493952072782904

[caption id="attachment_209833" align="aligncenter" width="473" caption="Grafis MWA-Cermin 66"][/caption]

 

(1) Tidak tahu pasti mengapa nenek-nenek di kalangan keluarga kami --- juga dipanggil Atuk. Malam itu Tuk Tuwo datang dengan sedikit basah, karena Tanjung Morawa baru disiram hujan grimis --- di rambutnya yang beruban tampak ada butiran air. Tuk Tuwo bersandar di kusen pintu rumah --- rumah petak sewaan, penghuninya semuanya perempuan dan anak-anak. Para lelaki semuanya pergi perang ke Medan Area. Di rumah petak kami hanya aku, anak lelaki berumur 4-5 tahun. Aku bangga setiap Atuk menyatakan, "rumah harus ada orang lelaki, walaupun kecil !". Perempuan tua itu, Tuk Tuwo, berperawakan tinggi kurus, tetapi matanya tajam, ruas tangan dan tungkainya panjang, bicara tegas --- walaupun tampak beberapa giginya ompong. Ia menarik dan menghembuskan nafasnya dengan deras. "Tanjung Morawa akan jatuh ke tangan Belanda !". Ia kemudian menjelaskan bahwa Pasukan Belanda telah menerobos dari Pancur Batu, menduduki Deli Tua ............ dan segera akan sampai di Tanjung Morawa ............... untuk mendudukinya, dan mengamankan Perkebunan di daerah itu. Sepanjang terobosan Pasukan Belanda itu, terjadi pertempuran-pertempuran hebat mempertahankan setiap jengkal wilayah Republik. "Batalyon Pertempuran II bertempur habis-habisan mempertahankan Deli Tua --- pertempuran bersosoh bayonet ................. satu lawan satu !". Tuk Tuwo menghirup kopi yang dibuatkan untuknya. Kami para pengungsi, perempuan dan anak-anak tiap hari bekerja sebagai buruh tani, mengerjakan sawah dan ladang orang --- tetapi juga mempunyai ladang yang kami tanami jagung ................. sebagai anak-anak, pekerjaan menugal dan menanam bibit jagung sungguh menggembirakan. Di tengah keluarga kami, Tuk Tuwo bukan saja dituakan, tetapi dialah pemimpin kami bekerja atau bertani --- tenaganya sungguh masih kuat sekali. Nenek kami, jauh lebih muda, yang dipanggil Tuk Elok, juga seorang perempuan tangguh --- pantang menyerah dan mengeluh. "Si Ujang di front Deli Tua, entah bagaimana nasibnya --- Cik Yung masih di front Wingfoot ?". Atuk Elok mengiyakan dengan anggukan. Biasa kami tidur di malam gelap yang digelapkan. (2) Terdengar tidur Tuk Tuwo gelisah ........... terkadang seperti berbisik-bisik, membaca doa. Pagi kami berangkat ke ladang --- barisan para perempuan ditingkah kelakuan anak-anak yang bermain. Kami memanjat punggung bukit. Ladang itu bersih, baru ditanam bibit jagung --- Tuk Tuwo dan Tuk Eloklah yang menyangkul ladang itu. Tiba-tiba Wak Uning datang menyusul tergopoh-gopoh: "Elok. Tadi malam Bang Tuah mendapat kabar kurir .................. si Ujang tewas dalam pertempuran di Deli Tua ......... bagaimana kita mengabarkannya ?". Tiga perempuan itu berbisik dengan bahasa dan suara yang pelan-pelan ........... pecahlah tangisan mereka, Tuk Tuwo tiba-tiba saja meraung-raung menangisi kematian puteranya ............... mati dalam pertempuran dengan Belanda. Perempuan-perempuan pada merubung. Bertangisan. Begitulah suasana duka nestapa, bila ada kabar "gugurnya" para Laskar, TRI ataupun Gerilyawan .............. yang gugur bisa suami, anak, adik, paman, wak, kakek, atuk ............ ipar, macam-macam hubungan famili. Tuk Tuwo berangkat dengan "kereta angin" (baca speda) pinjaman Wak Tuah, ia berspeda dengan "ban mati" menuju Front Deli Tua. Sendirian ! Walaupun dengan tangisan dan air mata, ia ingin menyaksikan kuburan anaknya. (3) Lepas Zuhur, tengah hari ke-2 Tuk Tuwo telah tiba kembali di Rumah Petak, kami telah bersiap-siap akan melanjutkan pengungsian ke arah Merbau ............... Tuk Tuwo tampak menenteng karaben berbayonet, ia dikawal seorang Kadet dan 2 Orang Laskar Hisbullah. Tuk Tuwo menceritakan perjuangannya berspeda ke arah Deli Tua, ia diantar ke tepi Kebun Karet, jenazah 8 prajurit pejuang di makamkan di tepi jalan --- Ujang Sang pemberani anak Sawahlunto itu, sangat dihormati teman dan komandan. Konon Tuk Tuwo satu-satunya krabat Syuhada yang berani dan sampai ke pemakaman, walaupun ia meraung dan meronta .............. memeluki gundukan tanah merah kuburan satu-satunya anak lelakinya ................ Anaknya itu tak mungkin kembali. Entah dengan cara bagaimana, Tuk Tuwo semula diberi kacu hijau yang biasa terlilit dileher Ujang --- hanya itu warisan pejuang itu. Tetapi Tuk Tuwo bersekeras meminta pinjam Senapan LE yang selalu disandang dan dipergunakan anaknya ............ dengan jaminan Letnan G. Sianipar dan ijin Komandan Divisi Kolonel Hopman Sitompul ...................... Tuk Tuwo pulang dengan Senapan Lee Enfield plus sangkur anaknya, pulang dikawal Laskar Hisbullah dan TRI yang mundur untuk mempertahankan Front Medan Area Tanjung Morawa ................ [MWA] (Cermin Haiku- 66)

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline