Lihat ke Halaman Asli

Ingin Mampir Di Mahkamah Puisi (Puisi II-04).

Diperbarui: 24 Juni 2015   23:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13484030651321110684

[caption id="attachment_207425" align="aligncenter" width="473" caption="Grafis MWA-Puisi II-04"][/caption]

(1)

Tidak mengerti ada dorongan untuk mampir --- di Beranda sebuah Puisi atau malah Mahligai sebuah Puisi, tetapi di saat akhir di putuskan “Ingin Mampir di Mahkamah Puisi” saja.

 

(2)

Semula berniat mampir di salah satu puisi dari Kumpulan Puisi Goenawan Mohamad --- begitu membaca buku Goenawan Mohamad Berpuisi dengan Ironi, Abdul Rozak Zaidan, Bukupop 2009 --- ya terpana, tertegun seperti tidak cukup keberanian untuk mampir, mampir sajapun diurungkan.

(3)

Ada kerinduan masa lalu --- puluhan tahun lalu, menghayati Puisi Amir Hamzah.  Ingat bagaimana kami beramai-ramai mampir di Beranda Puisinya --- dengan tuntunan seorang guru Bahasa Indonesia. Terasa begitu indah penggunaan kata-kata dan kalimat. Sungguh seperti meraba-raba benda konkrit sebuah hasil seni rupa --- ukiran atau sulaman barang yang antik.

Seperti Buah Rindu.

 

(4)

Cucu menyodorkan lembaran Koran Tempo, Minggu 27 Mei 2012, lembar rubrik (C3) Sastra --- ada 3 Puisi Zelfeni Wimra. Segera terpikat pada ke-3 Puisinya itu --- ada panggilan cita rasa estetika untuk mampir di 2 Sanjak pendeknya.

 

(5)

Zelfeni Wimra lahir di Sungai Naniang, Limopuluh Koto, Sumatera Barat. Kini giat di kelompok Magistra Indonesia, Padang (dikutip dari Koran Tempo tersebut), ini puisi yang akan dimampiri :

RUMAH PUJANGGA

sepanjangsiang

pantun kudapat, pantun kumakan

pepatah tertangkap, pepatah kusantap

agar badan beroleh harap

saat malam tiba aku kejar cahaya ke rumahmu

aku tembus lorong terkecil di ventilasinya

kaulah yang mematikan lampu ?

2012

Mampir, duduk bersila di beranda rumah tinggi --- melepas pandangan ke seantero horizon, mengelus-elus dagu, merasakan indahnya derap kata-kata di mulai sepanjang siang ……………….., akhirnya tiba di badan --- di “aku”.

Terkenang begitu banyak pantun, sloka, gurindam, dialog …………. Tiba di badan, kesadaran tentang keberadaan “aku”.

 

Bicara “badan” --- membicarakan nasib, kepentingan dan segala sisi “kemanusiaan” dan “manusia dalam budaya”.

(6)

Saat malam --- apa motivasi manusia itu ? ternyata ……………….. saat malam tiba aku kejar cahaya ke rumahmu.

Manusia selalu kuatir di dalam kelam temaram --- ia  preferensi pada ……………. cahaya; cahaya adalah pertanda, cahaya adalah jawaban yang menjelaskan pertanyaan ………………….. memang hanya “manusia” yang mampu bertanya dan mempertanyakan.

 

(7)

Kutipan puisi Zelfeni Wimra berikutnya,

SETELAH BERCERAI DENGAN TAMPUK

ke mana lagi, setelah kita dilerai musim dari tampuk?

tanyamu dengan mata yang tidak lagi cokelat.

 

mungkin, kalau kita terpilih, ke sebuah ceruk kubus, kemasan para tengkulak

kalau tidak, kita di pangkal batang ini saja, menyempurnakan kesunyian

2012

 

Pada bait I adalah kenyataan yang harus dialami --- kecewakah ?  Mungkin mereka “berputih mata”. Yang di banyak khasanah perbendaharaan sastra Melayu --- berputih mata adalah kiasan yang menyatakan kecewa menghadapi kenyataan.

 

Bait II, kembali manusia itu hanya memulai lagi ………….. memilih alternatif.

Bahkan kalau perlu berkompensasi --- memang sangat manusiawi ……………..

(8)

Mampir adalah menghayati sepintas lalu --- kalau singgah anda harus bermalam, menghayati dalamnya kata-kata dan kalimat puitis.

 

[MWA] (Puisi II-04)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline