Lihat ke Halaman Asli

Nek Sri Haji --- Pendakwah, Pedagang dan Telangkai (Cermin -45)

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1342784656349715897

[caption id="attachment_195284" align="aligncenter" width="473" caption="Grafis MWA-Cermin 45"][/caption]

(1)

 

Menjelang bulan Ramadhan begini, bisa macam-macam kenangan masa kecil bermunculan --- dari main meriam bambu, meriam karbit sampai membatalkan puasa di Kebun Pisang Wak Haji Embih. Macam-macamlah.

 

O paling enak bulan puasa nanti, libur sekolah, berdagang es batu --- memang begitu anak-anak Kampung kami, belajar dagang dari kecil masih --- agar bisa menjadi Orang Kaya seperti Malik Warna, Haji Sulaiman PP (PP dulu artinya Persatuan Perjuangan Tan Malaka), Haji Nur’ain Tauke Kain di Kesawan --- paling tidak seperti Nenek Sri Haji.

 

“Nek Sri Haji dermawan, pintar dakwah, bukan main baik hatinya --- tak boleh mendengar ada orang susah di Kota Maksum, pasti disinggahinya untuk membantu, duit, beras atau obat” --- begitu cerita si Arifin sambil mulutnya monyong-monyong, memang giginya pun rada tongos --- tapi anak itu ‘encer otaknya’ sekolah dan mengajinya pintar, ayahnya Pak Mustafa supir Bis Peng Lam, Medan –Deli Tua.

 

Aku pun kalau kaya kelak, akan jadi Orang Dermawan --- enak kali jadi orang kaya, dihormati orang. Tengok Orang-orang Tamil yang sehari-harinya pelit kedekut, tapi tiap hari Jum’at membagi-bagi uang bertas-tas --- semua mencium tangannya. Aku sayang kali sama Orang Tamil dibanding Orang Arab --- Orang Arab pelit”  Bukan main lagaknya si Aladin, anak tukang daging.

 

“Kalau kalian mau menyontoh tabiat orang baik, orang kaya --- tak lain Nek Sri Haji-lah. Dia tidak memilih-milih orang, tidak memilih waktu.

Siapa saja yang ditimpa kemalangan, pasti dikunjunginya, dibantunya ………… waktu ayahku sakit tidak bisa menarik beca, ada barang kali hampir sebulan hidup kami dibelanjainya”  Begitu pula kampanye si Hasan yang matanya ceme sebelah.

 

“Ah, jarang-jarang Orang Mandailing yang suka mengasi-ngasi uang, kecuali Nek Sri Haji --- kalau kulihat saja ia mengaji di rumah Wak Hamid Lubis, pasti aku berdiri-diri di mulut Gang --- eh dia lewat, disapu-sapunya kepala rambutku ………….. ditanyakannya sekolah dan mengajiku sampai Juz berapa ……………. Dapat awak 50 sen, masuk tabungan !”

 

“Ayo kita bongkar tabungan, berkongsi dagang kita !”  Ada barang kali 6-7 anak lelaki berkompromi akan membongkar tabungan mereka --- ada yang akan berdagang es, ada berdagang kurma rencananya, ada pula ingin berdagang kue.  Ribut mereka bersorak berdebatkan masalah rencana masing-masing.

 

Lewat Nek Sri Haji berbaju muslimah putih berenda dan berbordir kebiru-biruan, selendangnya berpinggir rajut briyen. Ia mengepit tas kulit berwarna putih --- entah dari mana tiba-tiba ia muncul, mungkin ia keluar dari rumah Makcik Butet, “Kan adik si Tomong sakit”.

 

“Mengapa kalian ribut-ribut kali, terdengar sampai ke rumah Cik Salmah --- ‘kan nenek si Ramlah tu sakit. Jangan kalian ribut. Apa yang kalian perbincangkan rupanya ?”  Ribut anak-anak tu berebut menceritakan rencana dagangnya.

 

“Nah berapa kelompok kalian …………… ? O jadi 3 kongsi, nenek tambahkan modal masing-masing 2 perak !”.  Anak-anak kampung tu bersorak sorai bergembira mendapat tambahan modal.

 

(2)

 

Memang Nek Sri Haji beken di kalangan anak-anak, terlebih-lebih lagi ada juga kegiatannya yang sangat masyhur di kalangan ibu-ibu, orang tua gadis-gadis rupawan --- ia suka sekali mengambil inisiatif untuk menjodohkan anak-anak gadis yang pandai mengaji, agar dipersunting pemuda yang mapan atau anak orang kaya.

 

Kalau ia bertemu dengan sekelompok anak-anak gadis dalam perjalanannya : “Eh, jaga diri kalian, jangan melalak enggak karu-karuan --- baik-baik budi, tak ondak awak gadis-gadis gatal jadi menantu --- baik-baik jaga kelakuan kalian !”

 

Biasanya meriah gadis-gadis meng-ocok-ocokkan kawannya agar dicarikan jodoh lebih duluan: “Nek si Leha ni nek, giliran kawan kami yang harus dinikahkan nek, hampir 17 tahun dia nek !”  Ramai anak-anak gadis berbincang dengan Nek Sri Haji, dia biasanya menanyakan nama orang tua dan tempat tinggal --- memang tak semuanya dikenalnya baik anak-anak itu.

 

Tetapi kalaulah ada pula orang tua ‘anak bujangan’ akan mencari menantu --- tak pelak Nek Sri Haji pasti menyelidiki dan menyidik seluk beluk dan kelakuan si gadis calon dan martabat orang tuanya  --- di jaman penjajahan, jaman Jepang sampai awal Kemerdekaan rata-rata gadis itu dijodohkan di umur 16 sampai 18 tahun.

 

Di atas umur itu sudah bisa mencemaskan hati Orang Tua, bakal menjadi Perawan Tua, kata orang tua-tua.

 

(3)

 

Hasil penyelidikan dan penyidikan Nek Sri Haji --- sejak talent-scouting sampai minang-meminang biasanya tak meleset, memuaskan kedua belah pihak.

 

Uniknya Nek Sri Haji juga mensponsori kalau ada ‘Bujang Lapuk’, anak lelaki yang berat jodoh --- ia pasti dapat menemukan pasangan yang serasi.

 

Lha, ini hebatnya dia --- ia bisa pula mencarikan jodoh bagi para Duda maupun Janda. Semua pihak pasti puas !

 

Bukan pula jarang bahkan para Bangsawan di Kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur pun menggunakan jasa Nek Sri Haji --- dia bukan hanya terpandang sebagai Orang Kaya, pendakwah, jujur Lillahi Ta’alla --- ia juga kompeten dalam ilmu jiwa dan menyelesaikan perselisihan orang mau saling bercerai, atau rebut-merebut harta warisan.

 

Sebelum Penjajah Dai Nippon masuk, masih di jaman Belanda --- prestasi yang paling gemilang dari Nek Sri Haji sebagai Telangkai, yakni menjodohkan anak Gadis seorang Guru menjadi isteri Temenggung Kerajaan Langkat.

 

Banyak Orang mengagumi hasil kerjanya itu --- apalagi pasangan itu sangat berbahagia, Tengku Rakhmani dengan Syafinah sempatlah menikmati kebahagiaan selama 4-5 tahun ……………….. sampailah tragedi Revolusi Sosial Maret 1946 melenyapkan mereka beserta kedua balitanya.

 

Revolusi Sosial di Sumatera Timur membawa cerita duka nestapa --- berbulan-bulan Nek Sri Haji menyusuri hutan belukar, sungai dari hulu ke hilir, di mana ada kabar tentang kuburan atau tempat pembunuhan para bangsawan, diselidiki dan disidiknya --- mencari jasad atau kuburan pasangan Tengku Rakhmani dan Syafinah ………………..

 

Revolusi Sosial Sumatera Timur (seperti juga di Banten dan beberapa daerah lain) adalah  puncak kemarahan Rakyat terhadap Ningrat dan Elit Politikus yang melakukan Korupsi dan pelanggaran wewenang --- selama masa Penjajahan Belanda, Jepang sampai Awal Kemerdekaan NKRI 17 Agustus 1945.

 

Ingat itu !

 

[MWA] (Cermin Haiku -46)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline