[caption id="attachment_195139" align="aligncenter" width="473" caption="Grafis MWA-Cermin #44"][/caption]
Mata terbuka setelah Perang Kemerdekaan 1949 --- kenal guru di Taman Siswa, teman-teman dan, sosialisasi di lingkungan keluarga dan kampung --- ada 2 Nenek-nenek yang tampil mempengaruhi hidup, selain nenek kandung yang dipanggil “Tuk Elok”.
Yang satu bernama Nek Sri Haji dan yang kedua Nek Guru --- mereka ini sering mampir singgah di rumah, kedua nenek ini sangat mengagumkan, cantik-cantik, berpakaian rapi, bersih ……………. Dan mengesankan Orang Berpengaruh di kampung, bahkan sekota kami.
Awal-awal mengidolakan Pemimpin Wanita.
Kali ini hanya menceritakan Nek Guru yang cerdas dengan suara mantap mengesankan --- ia tiap hari beredar dari rumah ke rumah, dari Langgar ke Langgar, dari Mesjid ke Mesjid --- ia mengajar mengaji Al Qur’an dan berdakwah. Di kampung kami banyak Ustadz, tetapi Nek Guru tidak dipanggil Ustadzah.
Belakangan baru dapat disimpulkan bahwa beliau lebih tinggi derajat keilmuannya --- karena di daerah kami Ulama (baca Kyai) dipanggil Tuan Guru, mungkin nenek guru dapat disejajarkan dengan tingkat keilmuan Tuan Guru.
Ia bertempat tinggal di sebuah Langgar yang sangat cantik pada masa itu --- Langgar di Jalan Batu, ia mempunyai Jemaah juga di Langgar itu, Jemaah Pengajian para Ibu-ibu.
Terkadang, karena sangat besarnya pengaruhnya dalam kehidupan masa kanak-kanak itu --- selalu rindu dengan petuah dan sapaannya. Hati selalu bertanya bagaimana nenek ini bisa tiba-tiba berada di lingkungan kami.
Ia tiba di lingkungan kami setelah proses evakuasi dari pedalaman --- keluarga kami datang dari daerah Lubuk Pakam, sedang Nek Guru dari Pulau Sabang --- asyik benar mendengarkan ceritanya betapa seru dan seramnya serangan Angkatan Udara Dai Nippon mengebom Sabang, serta Angkatan Lautnya membombardir dari kapal perang.
Rasanya lebih seru dari pertempuran Medan Area yang dialami selama pengungsian --- serangan Mustang Belanda tidak seberapa di Lubuk Pakam kalau dibanding cerita serangan Chureng, pesawat Dai Nippon di Pulau Sabang.
Teringat, Langgar Al Ikhlas Jalan Batu di mana Nek Guru bertempat tinggal --- di pojok timur-utara ada sebuah beduk yang diikatkan ke tiang beranda Langgar. Beduk itu sangat mengesankan, ia terletak lebih tinggi dari penulis, bila tiba Waktu Sholat, beduk dipukul bertalu-talu, sungguh mengesankan, karena beduk itu dipukul oleh Oyang, emak Nek Guru --- nenek-nenek yang lebih tua lagi.
Mengapa Nek Guru berpindah dari Pulau Sabang ke kota Medan ? Selalu ingin mendengar kisah perang yang dialami Nek Guru dalam perjalanan panjangnya dari Pulau Sabang, Aceh.
Suatu saat ia bercerita dengan mengurai air mata --- (penulis pun sampai saat ini berlinang air mata). Ia dengan anak bungsunya, yang kemudian kami panggil Uncu Halim --- bersekeras berlayar dari Pulau Sabang ke daratan Pulau Sumatra, ke Kutaraja. Dari sana dengan berkendaraan sedapatnya termasuk berjalan kaki menuju Kota Medan --- berhari-hari, berminggu-minggu, melewati kota, desa dan hutan rimba Aceh --- hanya karena ingin mencapai Sumatera Timur, Kota Medan.
Dari Medan ia menuju Pulau Gambar, ke makam di tepi Sungai Ular --- dengan berjalan kaki untuk mencari makam anak sulungnya, Mas’ud Nasution, seorang Pejuang Perang Kemerdekaan yang meninggal dunia, beserta seorang temannya, Lubis --- mereka mati ditembak dari jarak dekat, bertubi-tubi, secara kejam oleh para kaki-tangan Belanda --- yang didalangi seorang Lurah.
Nek Guru sampai ia wafat, tidak mengijinkan ke dua kuburan itu untuk dipindah ke Makam Pahlawan……………………….. (penulis berkali-kali menziarahi kedua makam itu --- karena kepahlawanan mereka sangat mencekam-menginspirasi, penghargaan kasih-sayang seorang Ibunda yang melahirkan mereka).
[MWA] (Cermin Haiku -44)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H