Lihat ke Halaman Asli

Kadarwati dan Hotel Candraningrat (Cermin Haiku-42)

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1341993590145634387

[caption id="attachment_193637" align="aligncenter" width="473" caption="Grafis MWA-Cermin42"][/caption]

(1)

Memang asyik pulang kembali ke Yogyakarta --- Baciro adalah kampung halamanku, aku pulang kampung seperti seorang perantau yang penuh kerinduan, ya, aku seperti mabok --- ingin segera menelan seluruh isi kenangan Yogyakarta.

 

Aku kecewa rumah kos-ku, rumah Pak Pasiman telah tergusur menjadi Hotel --- aku butuh penginapan, tetapi aku emoh hotel modern, aku ingin menikmati suasana rumah Jawa yang bertahun-tahun membina kesadaran budayaku --- aku cinta budaya Jawa.

 

Terkenang.

 

Terkenang sering  sepanjang malam, Pak Pasiman menyetel radio acara wayang semalam  suntuk --- kami tidak protes berkali-kali terbangun dan mengikuti kembali adegan wayang dan alunan gamelan yang meningkah tidur kami tadi.

 

Pak Pasiman, engkau pindah ke mana ?

 

Berkali-kali tukang beca menawarkan hotel di berbagai kawasan --- tidak tertarik. Aku menginginkan hotel berbentuk rumah Jawa.

 

Kayuhan beca kunikmati  sebagai bagian nostalgia --- aku panik tidak menjumpai satupun Orang Pengamen memainkan Siter.

 

“Sudah tidak ada pengamen memainkan siter mBah !”.  Aku terdiam kecewa, terkenang begitu banyak kisah nyata dalam hidupku menanggap Siter ataupun Kroncong melagukan langgam.

 

Wah --- aku kecewa, dan rada mengantuk.

 

Tiba di depan Rumah Gaya Ningrat --- “Hotel Candraningrat”

 

Aku menikmati duduk di kursi antik gaya kolonial --- di beberapa meja turis asing duduk berkawan-kawan, di dekatku sepasang turis yang sebaya denganku sedang menulis, sang isteri membaca. Budaya yang produktif.

 

“Bapak senang hotel ini, beri bapak kartu nama, lain kali akan membawa keluarga ke sini”.  Kataku pada FO.

 

 

 (2)

 

Melewati beberapa taman yang bergaya kuno, samar-samar beberapa tumbuhan dan kaktus pun dari jenis masa lalu.  Restorannya adalah ruangan luas dengan gaya --- rasanya gaya kolonial.

 

Aku menikmati Corn Soup yang bercita rasa --- “apa ya ?  Mungkin menyesuaikan cita rasa tamu asing Eropah, Amrik, atau Aussei”.

 

Kepada Waiter aku bertanya : “Siapa pemilik hotel ini, Ningrat ?”

 

“Bu Kadarwati, Orang Surabaya --- bukan ningrat sini !”  (Aneh memoriku selalu menampilkan --- Kadarwati ex Surabaya …………….. adalah dia)

“Ibu Kadarwati dari Surabaya ?”  (Benakku lantas menyimpulkan : Kadarwati Candraningrat, sahabatku sesama aktifis KAMI Yogya --- Angkatan 66 Yon Katamso anak buah mas Hermanu, anak  Ekonomi juga)

Ya, kalau benar Kadarwati Candraningrat, ia anak Semarang pewaris Perusahaan Susu di Ambarawa --- ia memang anak Orang Kaya, yang drop-out lantas kawin dengan seorang Kolonel ALRI.

 

Apakah dia pemilik hotel ini ?

 

(3)

 

Aku penasaran : “Ada foto ibu di sekitar sini ?”

 

“Coba bapak hubungan dengan FO”

 

Aku diantar dan melewati satu gang yang penuh dengan lukisan  Wayang Beber, tajam pandanganku, sekilas melihat lukisan wayang beber menggambarkan para perajurit merampas para puteri kerajaan yang takluk dalam Perang Sepei (lukisan itu rada porno).

 

Aku memang senang wayang beber --- gaya lukisannya khas, dengan gambaran kostum jaman Kartosuro

“Ibu senang koleksi barang-barang antik ya” . Pemuka Restoran itu mengiakan.

“Ibu mempunyai Workshop di Boyolali --- ia mengekspor prabot macam-macam model ke luar negeri”.

 

Petugas Front Office  membukakan kamar kerja “ibu”.

 

Memang Kadarwati Candraningrat --- sahabatku, alias Ong Gin Nio.

 

Di kamar 115 yang kupilih, yang mempunyai jendela ke taman --- aku lama sekali memikirkan Kadarwati dan kisah-kisah selama kami kuliah bertahun-tahun lalu. Foto, atau lebih tepat lukisan di kamar kerja itu kira-kira ketika ia berumur 40 tahunan --- kini ia harusnya berumur 60 tahunan.

Bawahannya tidak mau memberikan nomor teleponnya.

 

(3)

 

Ia menceritakan nasib perkawinannya --- suaminya gugur dalam kecelakaan penerbangan pesawat militer TNI, ketika akan menyaksikan latihan militer di Porong. Ia masih cukup muda saat itu --- perkawinannya tidak menghasilkan keturunan, dan ia memutuskan tidak menikah lagi. Ia aktif menjadi pengurus Yayasan sebuah Vihara.

 

Ketika mereka berbagi warisan ia memutuskan untuk mengembangkan bagiannya --- ia menjadi pengusaha barang antik dan mebel, belakangan ia kembangkan pula ke perhotelan dan rumah sakit.

 

(4)

 

Dari workshopnya di Boyolali --- kami meneruskan percakapan kami, yang menyangkut berbagai hal --- dari perhotelan sampai hari depan DI Yogyakarta, yang menurut kacamata analisanya --- Yogyakarta akan suram apabila tidak merevitalisasi sumber dayanya, pariwisata, ekonomi kreatif dan daya tarik kota Budaya dan pendidikannya.

 

Lantas kami menyaksikan matahari terbenam di Lautan Hindia --- sambil mengenang para dosen jaman dulu, terutama favorit kami professor Kertonegoro, Dr Irawan dan professor Hidayat.

 

“Wis, aku di tingkat umur ini --- sampai kini aku masih merasa sehat-sehat saja, rohani dan jasmani. Aku duga sampai perjalanan pergaulan 2 hari ini --- kesanku kamu juga sehat wal afiat”

 

“Aku mengajak kamu untuk membangun kampus perguruan tinggi, bekerja sama dengan sebuah yayasan pesantren di Klaten --- aku membutuhkan kawan yang se-ide --- back-ground kita sama.  Aku jadi teringat Mas Sunobo yang memperkenalkan ide Sutan Sjahrir --- ide sosialisme.  Pancasila adalah Sosialisme, Indonesia hanya akan makmur sentosa, adil sejahtera dengan azas Sosialisme --- Kerakyatan, Keadilan Sosial dan Kesadaran berketuhanan Yang Maha Esa --- ingat ide mas Sunobo --- kita mempunyai kesempatan untuk berbuat, Wis”

 

Aku mengangguk --- malam itu ia tidur di Hotel Candraningrat, di kamar pribadinya, ia menawarkan kamar tamu untukku.  Aku tetap menolak karena kamar 115 tempat tidur katil berkelambu, aku senang tidur di hotel suasana Jawa, tidur berkelambu seperti Ratu Kalinyamat  --- aku pastikan tawaran kamar tamunya akan terasa asing bagiku.

 

Kakiku berjuntai di lantai sementara aku duduk ditepi katil --- memandangi arca Dewi Saraswati, Dewi Ilmu Pengetahuan,  di atas lemari kecil di sudut kamar. Aku manggut-manggut memikirkan tawaran Ong Gin Nio untuk membangun kampus di Klaten.

 

[MWA] (Cermin Haiku -42)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline