Lihat ke Halaman Asli

Tan Malaka adalah seorang Idealis, Nasionalis, tetapi juga Humanis.

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13271217611878645333

 

Tan Malaka dibunuh oleh Aparat Negara ini --- existensi dan identitasnya ingin “dihilangkan”, tetapi Bangsa Indonesia dan Sejarah telah mencatat, dialah Bapak Republik Indonesia --- untuk melacak dan menemukan kuburannya, justru Wartawan Asing yang melakukannya. Harry A. Poeze, selama lebih 36 tahun melacak pembunuhan Tan Malaka.

 

Kalaulah Orang Indonesia (ada beberapa orang) yang turut merencanakan, membunuh Sang Pahlawan ada yang masih hidup.  Tampillah membeberkan apa yang diketahui atau dialami. Jauh lebih baik menjadi pahlawan bangsa dari pada menjadi pengecut --- menelikung sejarah bangsa.

 

Bangsa ini hanya bisa langgeng lestari bila tunas bangsa mempunyai karakter rela berkorban dan bekerja untuk mewujudkan Cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan Konstitusi Undang-undang Dasar 1945  Amandemen.

 

Bangsa Indonesia masih menunggu hasil penelitian DNA dari tulang belulang yang diduga jasad  Almarhum  Tan Malaka, dari kuburan di desa Selopanggung, Kediri  --- hasil bertahun-tahun investigasi wartawan, peneliti  asing tersebut. Hasil test DNA diharapkan selesai akhir tahun ini (2012).

 

Tan Malaka mewariskan beberapa tulisan yang pernah menginspirasi Perintis Kemerdekaan sampai Angkatan  45 yang melakukan perjuangan menegakkan dan mempertahankan Kemerdekaan  Bangsa dan Negara Indonesia.

 

Kisah Perjuangan dan Pengorbanan Tan Malaka,  dapat dibaca dari berbagai bukunya, salah satunya, Dari Penjara ke Penjara. Dikutipkan dari DPKP jilid 2/3, untuk merangkai judul tulisan :

“…… Beberapa kali seumur hidup bertukar tempat dan pekerjaan. Tidak pernah lama saya dapat mengecap hasilnya pekerjaan yang sedikit menyenangkan. Hampir dua tahun saya tinggal di Deli dengan gaji besar, tetapi suasana yang sempit sesak. Cuma enam bulan di Semarang dalam suasana politik reaksioner, tetapi pekerjaan yang revolusioner bebas dan menggembirakan hati. Tidak pula berapa lama sebagai wartawan s.k. di Filipina. Sebentar pada satu Firma Jerman di Singapura di tahun 1927 sebagai klerk kantor. Hampir setahun di Amoy sebagai pemimpin kursus dalam beberapa bahasa. Nanti di Bayah, Banten Selatan sampai kewaktu Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945……………”

 

“…………….. Bangsa Indonesia seluruhnya (bukan Indonesia Malaya saja) sangat berkepentingan di Malaya. Sebagai pusat pasar dunia, pusat lalu lintas dan pusat strategi. Orang desapun tak membiarkan begitu saja seekor ular berkeliaran di kebunnya. Demikian pula perbuatan, komplotan dan perusakan imperialis Inggris di Malaya ……………………. Sikap tindakan Indonesia Republik, terhadap Malaya tak akan berhenti dengan putusan Persatuan Perjuangan dalam Kongres terakhir di Madiun pada tanggal 17 Maret 1946 saja. Pun tidak pula tidak akan terhenti dengan tuntutan organisasi politiknya Indonesia-Malaya hendak bergabung dan sehidup semati dengan Indonesia yang sudah memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945…………….. “

 

“………………. Mereka lepas dari tuntutan dan kebahagiaan mendapatkan satu dua benggol untuk pengisi perut, dengan bekerja sebagai kuli di tambang atau di kebun. Umumnya pertambangan di Malaya memakai kuli Tionghoa yang amat murah bayarannya dan perkebunan memakai kuli Keling yang juga terpaksa (karena miskinnya) menerima upah yang amat rendah ( 30 sen sehari)………. “

 

Sejarah membuktian Tan Malaka tidak pernah terputus perjuangannya, sejak menjadi siswa di Nederland, kembali ke Hindia Belanda (1919) bekerja di Perkebunan --- mendidik anak Koeli Kontrak” --- selama menjadi Orang Buangan mengembara di berbagai Negeri --- melakukan kehidupan dan perjuangan menuju Repoeblik Indonesia, dengan berbagai ragam usaha-upaya dan metode --- sampai Tan Malaka menyusup kembali ke Nusantara selama Perang Pasifik menjelang Proklamasi dan Perang Kemerdekaan ……………

 

Untuk membentuk Karakter Bangsa dan menumbuhkan Kesadaran Nasional kiranya Anak Bangsa perlu membaca ulang dan menghayati perjuangan para pelopor.  Kini Indonesia dalam bahaya kehilangan panutan kepahlawanan --- Budaya Korupsi menyebarkan virus Jiwa Pengkhianat --- mengabaikan Cita-cita Proklamasi dan Konstitusi.

 

Kemerdekaan Indonesia bukan datang begitu saja dari langit --- Kemerdekaan dibayar dengan pengorbanan jiwa dan kecintaan Generasi yang lalu, untuk Rakyat seluruhnya menikmati Anugrah Illahiah secara adil dan merata.

 

[MWA] (Hello Hari Ini – 37)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline