Lihat ke Halaman Asli

Chairil Anwar, W.S.Rendra, apresiasi 2 Puisi Mereka [Puisi di atas Sofa – 03]

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Senja di batas Ujung  Ramadhan ini Aku  mengenang *) Bentuk Haiku di atas sebagai prolog --- menampilkan dua puisi Penyair Besar Indonesia.  Chairil Anwar dan W.S. Rendra.  Setelah berbuka puasa, membaca puisi para penyair Indonesia.. Tergerak untuk menampilkan Puisi pilihan untuk kita apresiasi selama-lamanya. Kebesaran mereka. Inilah Inspirasi yang terungkap. Dari Chairil Anwar : D o a  Kepada pemeluk teguh Tuhanku Dalam termangu Aku masih menyebut namaMu Biar susah sungguh mengingat kau penuh seluruh cayaMu panas suci tinggal kerdip lilin di kelam sunyi Tuhanku Aku hilang bentuk Remuk Tuhanku Aku mengembara di negeri asing Tuhanku di pintuMu aku mengetuk aku tidak bisa berpaling   13 Nopember 1943 Puisi indah dan kuat ini, kuhayati pertama sekali di jaman SMA 1958-1961 Ini dari W.S. Rendra : Sajak Seorang Tua untuk Isterinya. Aku tulis sajak ini untuk menghibur hatimu sementara kau kenangkan encokmu kenangkanlah pula masa remaja kita yang gemilang dan juga masa depan kita yang hampir rampung dan dengan lega akan kita  lunaskan Kita tidaklah sendiri dan terasing dengan nasib kita kerna soalnya adalah hukum sejarah kehidupan suka duka kita bukanlah istimewa kerna setiap orang mengalaminya Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengeluh hidup adalah mengolah hidup bekerja membalik tanah memasuki rahasia langit dan samudra serta mencipta dan mengukir dunia kita menyandang tugas Kerna tugas adalah tugas bukannya demi sorga atau neraka kerna sesungguhnya kita bukan debu meski kita telah reyot, tuarenta dan kelabu Kita adalah kepribadian dan harga kita adalah kehormatan kita tolehlah lagi ke belakang ke masa silam yang tak seorangpun kuasa menghapusnya Lihatlah betapa tahun-tahun kita penuh warna sembilan puluh tahun yang dibelai napas kita sembilan  puluh tahun yang selalu bangkit melewatkan tahun-tahun lama yang porak-poranda dan kenangkanlah pula bagaimana kita dahulu tersenyum senantiasa menghadapi langit dan bumi, dan juga nasib kita Kita tersenyum bukanlah kerna bersandiwara bukan kerna senyuman adalah suatu kedok tetapi kerna senyuman adalah suatu sikap sikap kita untuk Tuhan, manusia sesama nasib, dan kehidupan Lihatlah ! sembilan puluh tahun penuh warna kenangkanlah bahwa kita telah selalu menolak menjadi koma kita menjadi goyah dan bongkok  kerna usia nampaknya lebih kuat dari kita tapi bukan kerna kita telah terkalahkan Aku tulis sajak ini untuk menghibur hatimu sementara kau kenangkan encokmu kenangkanlah pula bahwa kita ditantang seratus dewa    Rendra. Puisi Rendra di atas dipeoleh dalam Kumpulan Puisi & Sajak bersama Rendra; pembacaan puisi, Blackboard, 1996 Menyenangkan puisi Sajak Seorang tua untuk Isterinya --- Sajak yang berani, bijaksana dan optimistik --- di hari tua puisi ini seperti cermin yang memantulkan  ‘hidup masih berlangsung mas ‘. Ayo kita apresiasi karya para Penyair kita ! [MWA] *) Haiku bentuk puisi dengan suku kata 5, 7, 5 ; sekedar tindakan apresiasi.   [caption id="attachment_128435" align="aligncenter" width="800" caption="Kupu-kupu-ku --- Merona-rona warna --- Bebungaan-ku."][/caption]   *)Foto ex Internet

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline