Lihat ke Halaman Asli

Orang Indonesia mengurus TKI-nya, Kok Aneh ya ? [Pojok Kom a’ Dot -10]

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aduh, ini bakalan akan menghabiskan Arang membinasakan Besi nih.   Setelah 3 Menteri geger berkelit, lantas keterangan mereka saling dibantah oleh Instansi lain, diperkirakan  Indonesia akan sia-sia lagi dengan “action membentuk Satuan Tugas Khusus” ini --- konon setelah Presiden RI Susilo memberikan pidato tentang TKI/WNI yang dipancung di Saudi Arabia.  Itulah action Kebijakan Pemerintah.

 

Yang paling memalukan  :

  1. bantahan Dubes Saudi Arabia atas pernyataan Menlu Indonesia bahwa, Pemerintah Saudi Arabia meminta maaf  atas Insiden Pelaksanaan Hukum Pancung Ruyati.
  2. Pernyataan Dubes RI di Saudi Arabia dalam Rapat Dengar Pendapat di DPR-RI, bahwa Ruyati sejak semula memang tidak ada didampingi Pengacara --- alangkah sia-sianya Rakyat Indonesia menggaji Pemerintah dan Birokrasi untuk bekerja, melindungi WNI dan Kepentingan Indonesia. Ternyata hanya itulah yang mereka capai.

 

Kalaulah Mismanagement di atas benar-benar terjadi --- DPR harus bersikap lebih dari hanya sekedar “mendengar” , tetapi harus lebih dari itu, harus bersikap keras mengontrol “Kebijakan yang gagal itu”.

 

Keputusan Moratorium pengiriman TKI ke Saudi dan pembentukan Satgas Khusus yang ditentukan oleh Presiden RI --- dari hasil kerja di atas dan mengikuti kasus dan management penempatan dan perlindungan TKI di Saudi Arabia, selama ini.  Besar kemungkinan hasil kinerja mereka akan sia-sia juga.  Rakyat akan kecele dan mlongo lagi.  Lucu dan aneh, hasilnya begitu-begitu terus.

 

Ada pernyataan dari Menteri dan kalangan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi bahwa, antara lain Satgas itu akan juga melakukan Wawancara (terhadap 1,5 juta TKI di sana ?) --- Rakyat juga belum tahu bagaimana Draft MOU yang telah disepakati dengan pihak Saudi Arabia (yang beritanya lebih dahulu sebelum “tragedi Ruyati”).

 

Sampai di mana muatan Manajerial-nya  dalam hal “ Job Security dan Perlindungan, meliputi Sosial dan Hukumnya “  ?

 

Paling tidak harus meliputi hal-hal sebagai berikut :

  1. Secara administratif setiap TKI/TKW terdaftar resmi dan “secure” di Kedutaan-Konsulat (dhi. Atase TK)
  2. Job Security (salah satu topik pidato PresidenRI di ILO Juni 2011) --- jelas penempatan, jelas majikan, ada catatan Sosial-ekonomi dan budaya spesifik para majikan, dan hak-hak standar perburuhan (Indonesia-Saudi-Internasional). Job Security harus menjadi Jaminan Pemerintah Saudi Arabia (atau lainnya).  Pihak Indonesia cukup pegang kendali MOU terhadap “setiap sengketa”. Praktis dan ekonomis.
  3. Masalah Hukum Perburuhan Saudi yang dapat ditolerer Indonesia harus masuk di dalam MOU
  4. Masalah Hukum Privat Saudi yang dapat ditolerer Indonesia harus masuk dalam MOU
  5. Masalah Hukum Publik/Pidana Saudi (hukum acara dan pelaksanaan vonis) harus mengacu pada Hukum Internasional (plus berapa jauh bisa dimasukkan ekstradiksi dan pelaksanaan vonis di Indonesia).

 

Kalau Draft (atau tingkat apalah kini) setelah “insiden tragedi Ruyati” belum “secure” melebihi atau lebih komprehensif dari point-point di atas --- jangan cabut Moratorium.  Selesaikan dulu semua kontrak TKI/TKW yang masih ada berlaku.

 

Mempertimbangkan “kepantasan Falsafah Pancasila” kiranya :

  1. Hentikan pengiriman tenaga Kerja Wanita untuk sektor domestik-informal.  Terlalu hina-dina Bangsa Indonesia untuk mengirim kelas Koeli bagi WNI yang memang tergolong Miskin.
  2. Ekses yang berkembang saat ini TKW/TKW Ilegal atau WNI wanita berdiam di Saudi Arabia yang berprofesi Pelacur agar segera dipulangkan ke Indonesia.  Martabat Indonesia sangat hina dibayar 5 Ryal untuk dijadikan Cadangan Devisa Indonesia.
  3. Cegah praktek TKW ditransfer majikan antar Keluarga-Kawan untuk tujuan kerja dalam lingkup “Job Security” pun, tidak boleh dibenarkan --- karena Sosial Budaya di sana (ada informasi) merupakan kegiatan seksual illegal.

 

Terakhir Satgas Khusus itu harus mempunyai “term of references” yang jelas dan terbatas --- jangan menjadi “Kebijakan yang akan menghabiskan Arang dan Besi”.

 

Dalam hal, “Tragedi Ruyati” harus menjadi Tolok Ukur bahwa --- Indonesia mengendalikan Penempatan dan Perlindungan “TKI” dengan MOU, sekali lagi MOU --- jangan ada lagi ekstra APBN untuk kasus-kasus yang harusnya menjadi Tanggung Jawab pihak “Sana” --- tetapi karena MOU tidak ada atau tidak cerdas --- hasilnya Kerugian Martabat bagi Bangsa Indonsia.

Indonesia selalu Rugi Martabat --- walau mungkin Untung mengurangi angka statistik pangangguran dan meningkatkan Cadangan Devisa Indonesia.

Oh !

 

Jangan ada lagi ekstra “efforts”, ekstra kambing hitam, ekstra alasan muskil, ekstra “grasa-grusu”, ekstra berbantah-bantahan, ekstra kebohongan,  dan ekstra penggunaan pos APBN --- karena selama ini Rakyat mengerti bahwa, hasil Kinerja memang : Mismangement dan Waste !

 

Management TKI/TKW harus dalam Jaringan Sistem, Prosedur dan Metode yang Secure --- kalau tidak mampu mengirim, biarkan “mereka” menjadi bagian dari pada Kemiskinan Bangsa ini, di da lam negeri saja.

 

Janganlah “Orang Miskin Indonesia” menjadi Sang Saka Kemerosotan Martabat Bangsa dipertontonkan  di muka bumi ini. 

Di mana Citra mukamu ?   Sadari dan insyafi-lah

Tabek tuan (MWA)

 

[caption id="attachment_116944" align="alignleft" width="300" caption="Bung, buatlah Sistem, Prosedur dan Metode, yang secure --- kali ini."][/caption] *)Foto ex Internet

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline