Lihat ke Halaman Asli

Cerita Kemiskinan dari Murung Pudak [Mini Cerpen – 78 Novelette 03/1]

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_113309" align="aligncenter" width="300" caption="Ada Sisi Lain dalam Bangsa ini --- Ancaman Kerusakan Lingkungan Hidup dan Kesenjangan Akulturisasi antara Dominasi Kemajuan Teknologi dari Luar negeri, dengan Budaya Korupsi yang melebarkan daya beli dan kesempatan kerja --- Budaya Indonesia bersifat Retrogresif, menyisihkan kemampuan bangsa ini terpinggirkan."][/caption]

masih pagi sekali, sepulang sholat subuh di Mushalla di pinggir lapangan itu. Ia memang ingin selalu berbaur dengan penduduk kampung.  Tadi orang tua yang baik hati itu, mengajak singgah ke rumahnya.  Tetapi Adam mengelak, ia harus menunda kunjungan ke rumah Wak Andak. Adam melihat kru tehnik telah mulai bekerja --- ia sadar anak-anak perantau itu begitu rajin bekerja.  Mereka tidak mengejar uang lembur, tidak ada perhitungan semacam itu. Rombongan Komidi Puter ini adalah kafilah Orang Miskin Indonesia --- mereka masih bisa bertahan hidup saja sudah syukur Alhamdullillah. Adam melepas kupiahnya, dikeluarkannya bungkusan plastik kecil dari lipatan kupiahnya. Diraba-raba dengan jarinya kemudian ditimang-timangnya. Hari Minggu ini mudah-mudahan mereka mendapat kunjungan yang ramai --- tampak sekali penurunan pendapatan mereka dari tahun ke tahun. Adam telah bekerja di perusahaan permainan anak-anak semacam itu sudah tiga kali pindah --- tetapi yang terlama di rombongan ini --- sudah 5 tahun ia bekerja pada Pak Awang Bakarudin, Orang Hulu Rokan. Ia kini menjadi orang kepercayaan Pak Awang. Adam  menjadi Keuangan Pak Awang, tetapi ia merasa dulu dengan sekarang pendapatannya makin menciut --- sewaktu pada tahun  1982 ia bekerja sebagai Oilman --- upahnya bisa dua kali ini. Ya tahun 1982 pada saat umurnya 16 tahun ia bergabung dengan rombongan Pak Masendut, gaji atau upahnya seminggu bisa Rp. 80 ribu --- sekarang malah syukur kalau ia bisa mendapat bagian Rp. 70 ribu.. Buyar angan-angannya. Ia sadar kembali. Dikeluarkannya isi emplop plastik itu --- dilihatnya di tapak tangan kirinya ada 3 butir batu permata.  Tiger-eye, Lumut dan satu yang Kecubung Kasihan untuk Hennya. Ia tersenyum. Ia bergabung dengan Pak Masendut itu di Pekan Heran, desa dekat dengan Rengat di Indragiri Hulu --- ia pindah bekerja, dari rombongan pembuka lahan menjadi pekerja keras di rombongan Komidi Putar --- karena ia terlibat perkelahian sesama pekerja penerabas hutan.  Pasalnya yang remeh temeh saja --- terutama perselisihan karena kalah bermain judi. Waktu itu ia langsung merasa miskin karena gaji dan tunjangan yang lebih tinggi di pekerjaan semula. Tetapi apa mau dikata. Batu Tiger-eye untuk Bapak si Hennya, batu  Lumut untuk mama si Hennya --- batu Kecubung Kasihan dipilin-pilin dengan jari jempol dan jari tengah....................Ia teringat mantera Orang Riau, yang ia dapat dari si Ismail di Pulau Bengkalis.......................Hai, .......................(telunjuknya menunjuk ke langit dan jempol kakinya, kaki kanan menekan-nekan tanah lembek di bumi.....................(jari tetap memilin-milin si batu Kecubung Kasihan). Kini ia telah berumur 21 --- rencananya pekan depan rombongan mereka akan meninggalkan Kalimantan Timur --- akan menyeberangi Selat Makassar, menuju Tanah Sulawesi --- mungkin dalam 90 hari ia dan rombongannya akan kembali ke kampung si Hennya, di teluk yang sangat indah. Hennya adalah gadis anak sulung dari keluarga Nelayan yang lumayan berada, karena emak si Henny adalah wanita pekerja keras yang rajin --- ia pedagang di pasar desa --- sementara si bapak adalah nelayan pemalas --- penjudi dan pemabok pula. Adam teringat bahwa Hennya adalah gadis yang paling cocok dengannya --- anak itu juga sekolah hanya sampai SD, seperti dia. Adam setelah tammat SDN di desanya  Percut Sungai Tuan (biasa di Sumatera Utara tulisan Sungai disingkat --- SDN Percut Sei Tuan).  Untuk menammatkan SD-nya ia berpindah tiga kali --- mengikuti kepindahan Orang tuanya. Yang miskin, mereka berpindah-pindah menjauhi Kota Medan. Terlalu mahal sewa rumah untuk tukang penambal ban. Pak Buyung dengan 6 anak. Si Sulung merantau ke Riau --- menyusul pula si Adam anak kedua, pada umur 14 belas, teken kontrak membuka hutan ke Sawit Seberang --- kemudan mereka dibawa membuka hutan ke Sorek, di Riau --- daerah yang dilintasi oleh Matahari.  Ekuator-Khatulistiwa (hanya itu pelajaran sekolah yang paling menakjubkan secara realitas bagi Adam).  Mess mereka di Dundang --- rumah yang dikelilingi ilalang setinggi manusia. Mereka tidak pernah merasa takut terhadap hutan dan binatang penghuni hutan. Yang mereka takutkan sepanjang hidupnya adalah Kemiskinan dan rasa lapar, yang tetap melilit dan mengancam  hidup mereka ........................ Emplop plastik kembali disimpannya dalam lipatan kopiah dengan seksama --- sementara itu, anak pekerja telah makin giat bekerja, mengangkat tanah menutup becek di depan loket dan jalan melintas ke arena. "Bang, perlu bang kita mengecat beberapa kuda-kudaan dan sampan=sampanan bang "   Adam berpikir sebentar. "Beli kalian cat kuning 2 kaleng --- jangan cat sekarang, nanti sewaktu menanti kapal atau di pelabuhan, di Sulawesi sewaktu menanti truk" Beriringan mereka berjalan --- Adam membuka peti, dari peti ada pula Kas besi bergembok.  Anak itu pergi membeli cat.  Adam termangu, ia harapkan mereka bisa mendapat banyak pengunjung. Mereka memerlukan uang untuk mandah menyeberangi lautan : Selat Makassar. Rombongan itu memang begitu, mengharungi Nusantara berpindah-pindah --- dari Kalimantan, menyeberang ke Sulawesi, setelah melintasi pulau itu berbulan-bulan, mereka rencananya ke Kepulauan Ambon.  Adam telah mendengar Pak Awang, merencanakan menjual peralatannya di Sulawesi atau Ambon --- setelah itu ia akan kembali ke kampungnya di Hulu Rokan.  Rencananya ia akan membeli truk untuk pengangkutan tandan kelapa sawit. Pak Awang telah menawarkan agar Adam mengikuti jejaknya. Adam menghembuskan nafasnya keras-keras. Ia telah lama tidak merokok, ia ingat pesan neneknya : "Tubuh akan lebih sehat tanpa merokok, mengapa harus merokok ?  'Kan banyak makanan yang lebih bermanfaat ?" Nenek betul, kata hatinya.  "Dan hidup lebih hemat, aku harus menabung untuk meminang si Hennya !". Adam membuka loket, memeriksa bundalan karcis --- dipirit dengan jemari, dan ditaksir, ada 68 lembar. "Okay ".  Memang belakangan ini karcis tidak lagi dicetak, tetapi ia cukup menstempel kertas potongan kertas Koran --- seratus-ratus.  Ia harus  mengontrol itu. "Bik Rom, di loket ada bundel karcis 68 lembar --- menjelang tengah hari atau kalau keburu hampir habis, nanti aku drop lagi satu bundel". Adam merencanakan kalau nanti Hennya telah menjadi istrinya.  Loket itu akan dijaga oleh Hennya --- Bik Romlah akan diover ke bagian dapur kembali, seperti dulu. "Bang --- nanti kalau aku ikut rombongan abang, kita berjualan mainan bang, untuk tambahan" Adam tersenyum, memang Hennya keturunan pedagang --- dia sudah melihat peluang itu. Tetapi segera wajahnya tampak murung. Ia terkenang suatu saat bapak si Hennya pernah berkata, " Dam, kau anak Sumatera --- hanya buruh Komidi  Putar, bagaimana hidup keluargamu --- berpindah-pindah membawa anak gadisku.  Aku tidak membutuhkan lelaki ganteng, karena anak gadisku pun cantik. Kau lihat si Hennya --- ". Itu  kunjungantahun 1986.  Di desa itu mereka lama tinggal berkemah di situ --- itu desa lumayan kaya, menghasilkan kopi dan kakao.  Penduduknya tetap miskin karena, kegemaran berfoya-foya, berjudi dan mabok-mabokan.  Banyak terbelit dengan utang bantuan kredit dari pemerintah dan para tengkulak atau pun Lintah Darat. Adam kembali teringat pada bungkusan batu cincin di kopiahnya --- ia ambil dan akan disimpan dalam ranselnya. "Batu bertuah dan batu pekasih !" cetus hatinya. Adam melihat anak-anak mulai merubung sekitar lapangan Murung Pudak  --- baju mereka berwarna-warni, bocah-bocah kecil --- kini mereka ada yang membawa Games ke Komidi Putar.  Mereka berkurang mengunjungi komidi putar sekarang, karena uang jajan mereka, mereka gunakan untuk bermain Play Station. Saingan usaha si Adam. Adam menyuruk-kan badannya memasuki peti besar, tempat ia tidur kalau kemah telah terlanjur padat.   Mereka yang bujangan biasa tidur di mana saja. Di udara terbuka sudah biasa --- ia meraih ranselnya.(1) Bersambung Novelette 03/02)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline